Kisah Muallaf

Annas: Pekerjaan Membawaku Masuk Islam (Habis)

Dikirim tanggal Jul 25, 2015 10:03:06 AM 1,327 Kali dibaca

Dua hari berselang, ibu menghubungiku karena khawatir akan keadaanku. Mungkin karena naluri seorang ibu, makanya ibuku menghubungi aku, selain juga mungkin ada yang memberi tahu tentang keadaanku kepadanya. Dia bertanya, “Fidel, cemana kabarmu nak? Ibuk dengar kamu sakit ya?”. “Iya mak, tapi aku sudah berobat.” kataku. “Kamu sudah melakukan apa yang mamak bilang?” lanjut mamak. “Belum mak,” kataku lagi. Karena agama yang ibu anut masih Kristen, maka ibuku menyuruh aku agar berdoa di gereja memohon kesembuhan kepada Tuhan kami, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat di tempat aku dan keluarga tinggal dulu. “Belum buk, belum. Aku sekarang sudah masuk Islam, jadi gak bisa ke gereja.” kataku dengan bahasa yang lemah karena sedang sakit. Sontak ibu saya kaget bukan main. “Sudah masuk Islam kamu nak?”. “Iya buk”, jawabku. “Kenapa kamu tega melakukan ini anakku. Kenapa kamu tega berbuat begini sama ibu nak? Kenapa kamu jadi begini nak” sambil menangis ibu berkata itu kepadaku. Aku pun tak mampu berkata apa-apa. Seolah lidah dan mulutku terpaku mendengar suara dan tangisan ibuku. Aku memang anaknya yang nakal, namun aku sangat menyayangi ibu, begitu pula sebaliknya, ibu sangat menyayangiku. Pembaca mungkin bisa membayangkan betapa sakitnya hati seorang ibu melihat anak yang sangat ia sayangi berbuat yang mengecewakan hatinya. Sulit untuk bisa menerima semua ini. Akan tetapi, karena rasa sayang yang diberikan ibu kepadaku, iapun tak mempersoalkannya lagi. Bahkan ibu berkata kepadaku; “Nak, biar kamu masuk Islam, tapi kamu jangan tinggalin ibu ya? Ibu sayang kamu.” katanya sambil berusaha untuk menahan tangis. Sungguh apa yang dikatakan oleh ibuku adalah sesuatu yang sangat mengejutkan bagiku. Ibu belum pernah mengatakan demikian kepadaku, apalagi ia berkata sambil menangis, aku pun tak kuasa menahan air mata. Tak terasa air mataku jatuh menetes, tapi aku tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan bahwa aku sedang menangis agar ibu tidak tahu betapa sedihnya diriku ketika ia berkata demikian. Aku sangat menyayanginya, sehingga membuatku sepontan menjawab pertanyaan ibu; “Tidaklah buk. Dulu aku sangat nakal dan jahat sama ibuk, masak sekarang aku masih jahat sama ibuk. Aku sudah tahu buk mana yang benar dan mana yang salah. Biarpun aku sudah masuk Islam, aku gak akan lupa sama ibuk, ayah, kakak, dan adek. Aku pasti akan kembali buk menemui ibuk nanti kalau waktunya sudah tepat.” kataku dengan suara yang agak lemah karena menahan tangis. Ibuku sangat senang mendengarnya, namun ayahku masih belum tahu tentang kabar ini hingga aku berangkat ke Jakarta, ibu masih merahasiakan hal ini. Rasa sayang yang ibu miliki terhadapku membuat ibu merahasiakan perpindahan keyakinanku untuk memeluk Islam. Setiap kali ayahku bertanya tentang keadaanku kepada ibu, ia selalu berkata bahwa keadaanku baik dan sekarang sudah menjadi anak yang mampu berpikir dewasa. Tidak seperti ketika aku masih sekolah dulu, melainkan sudah mampu menjaga diriku sendiri. Kabar bahwa aku sudah berganti keyakinan pun ibu simpan rapat-rapat agar ayah tidak mengetahui hal ini. Ibu tahu, jika ayahku mengetahuinya, maka ia akan sangat marah sekali, bahkan sangat mungkin untuk melukai aku. Selama setahun ibu menyembunyikannya dari ayah. Sungguh ibu adalah sosok yang sangat aku cintai. Demi anaknya ia rela melakukan hal ini, padahal kami sudah berbeda keyakinan. Ibu memang mengkhawatirkan aku, tapi karena ibu tahu kalau ayahku pasti akan marah bila mengetahui aku telah masuk Islam, maka ibu tidak memberi tahunya. Diapun tidak berani untuk mengunjungiku ketika aku sakit saat itu. Ibu sangat patuh kepada ayah, jadi tidak mungkin ia berani pergi dari rumah meski untuk melihat anaknya yang sedang sakit. Aku pun dirawat oleh sang pemilik apotek tempat ku bekerja. Untung saja beliau orangnya baik. Biarpun ia adalah seorang penganut Kristen, akan tetapi ia tidak mempersoalkan perpindahan agama yang aku lakukan. Ia tetap membantuku untuk segera sembuh, dan tidak jarang mengantarku ke rumah sakit untuk berobat. Apa yang aku alami ini memang tidaklah mudah. Baru saja aku masuk Islam, Allah langsung menguji aku dengan dua hal. Hal pertama adalah aku diuji dengan diterima oleh masyarakat Muslim di daerah tempat tinggalku ketika bekerja di apotek. Yang kedua, aku diuji dengan sakit yang aku alami. Memang ini tidak mudah bagiku, apalagi usiaku ketika itu masih lima belas tahun, sehingga dalam kondisi yang sulit apalagi untuk hidup mandiri. Namun, aku tidak pernah menyesali pilihanku untuk memeluk Islam. Aku tidak pernah menangisi keadaanku, biarpun tidak ada yang merawatku di kamar ketika aku sakit. Tidak ada kehangatan tangan seorang yang ku panggil ibu yang merawatku. Tidak ada yang membantuku untuk mempersiapkan makanku. Walaupun aku sedang sakit, aku tetap melakukan semuanya sendiri. menyiapkan makanku sendiri, mencuci pakaianku sendiri, semua serba sendiri, persis seperti lagu yang dinyanyikan oleh Maggy Z yang berjudul “angka satu”. Ya! Begitulah penderitaan yang aku rasakan ketika itu, begitu sulit dan pahit. Semoga ini akan berubah manis pada waktunya, amin yaa rabbal ‘alamin. Sabar adalah hal pertama yang aku lakukan. Menerima dengan lapang dada segala ketentuan yang diberikan oleh Allah  karena keyakinanku bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Kini aku pun tahu, ternyata hal itu ada dalam kitab suci Allah Swt.;   Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr 4 ……… “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)   Kesabaranku ini ternyata dilihat oleh Allah. Selama aku sakit aku terus berdoa dalam salatku semoga lekas disembuhkan oleh Allah. Ya! Meski sedang sakit aku tetap berusaha untuk salat. Kata pak ustadz yang mengajariku tentang Islam, salat adalah kewajiban setiap orang Muslim meski dalam kondisi apa pun. Apabila sedang sakit seperti aku, maka aku bisa salat sambil berbaring kata pak ustadz. Akhirnya, subhanaAllah, Allah memberikan kesehatan kepadaku. Aku pun sembuh hingga aku bisa melakukan aktifitasku seperti semula, bekerja di apotek dan belajar mengaji. Aku merasa bahwa Allah sungguh telah memberikan petunjuk kepadaku, dan aku sangat bersyukur karenanya. Tepat pada tanggal 25 Desember 2013 yang lalu, umat Kristiani merayakan perayaan hari Natal. Sebagaimana kebiasaan yang ada pada umumnya di kampung halamanku, kami merayakannya di gereja. Akan tetapi, pada tahun lalu aku tidak ikut merayakan karena sudah masuk Islam. Tak lama ayah meneleponku dan memberi tahu bahwa aku harus ikut dalam perayaan tersebut di gereja di dekat tempat tinggal kami. “Fidel, kamu harus pulang, ini ada perayaan Natal di tempat kita,” kata ayah kepadaku. “Tidak bisa ayah. Aku sedang banyak kerjaan di sini. Gak mungkin aku tinggalkan kerjaan ini, nanti gak selesai-selesai.” tuturku. Ayah terus saja memaksaku, katanya pemilik toko tempat aku bekerja kan orang Kristen, jadi pasti dia juga memberi waktu kepadaku untuk libur. “Yang punya toko kan orang Kristen juga, gak mungkin kamu gak libur. Banyak alasan aja kamu, pulang kamu! Jangan banyak membantah! Dasar anak kurang ajar!” maki ayah kepadaku. Tidaklah mudah menjelaskan perpindahan agamaku kepada ayah. Ia adalah sosok yang temperamental. Tak jarang aku ditendang dan dipukul ketika masih berada di rumah. Ibuku pun sering ia marahi. Ayah memang sulit untuk menerima perbedaan, apalagi yang berbeda dengan pendapatnya. Ia akan marah-marah, bahkan tidak jarang memaki bila ada anak atau istrinya yang tidak sependapat dengannya. Oleh sebab itu, aku mendapat makiannya ketika menolak untuk mengikuti perintahnya pulang ke rumah untuk merayakan Natal bersama keluarga dan sahabat di kampung halaman. Iman Kristen yang perlahan memudar pada diriku membuatku semakin tidak ingin melakukan hal-hal yang menyangkut agama lamaku. Perayaan-perayaan hari besar aku tinggalkan. Selain karena memang sudah memeluk agama Islam, sebenarnya aku juga merasa risih melakukan hal itu. Pembaca bisa membayangkan bagaimana ketika seorang yang hendak pergi kebaktian ke gereja. Mereka memang menggunakan pakaian rapih dan bagus, bahkan tidak jarang berharga mahal. Akan tetapi, pakaian yang mereka kenakan belum tentu bersih dari najis, juga tidak menutup aurat. Coba pembaca pikirkan, seseorang yang ingin menghadap pejabat saja harus berpakaian sopan dan rapih, bagaimana bila kita hendak menghadap Tuhan? Bukankah pakaian yang dikenakan harus bersih, suci, dan menutup aurat? Inilah yang membuat aku risih ketika pergi ke gereja. Tidak ada saf atau barisan khusus bagi laki-laki dan perempuan, layaknya ibadah salat yang dilakukan oleh umat Muslim. Setiap orang duduk berdasarkan nama sesuai dengan kastanya, berpakaian rok mini maupun dan menggunakan baju tidak berlengan dibolehkan, tidak ada wudhu atau melepas alas kaki ketika masuk ke gereja. Sungguh berbeda sekali dengan tata cara peribadatan yang umat Muslim lakukan ketika menghadap Allah. Inilah yang seharusnya umat Kristiani pelajari dan renungkan, agar mereka tidak saja menjadi umat yang mengikuti doktrin gereja, melainkan menjadi umat yang memahami agama yang benar-benar mengajarkan kebaikan. Empat bulan berselang. Aku semakin lancar dan tekun dalam mempelajari Al-Quran dan Islam. Ketekunanku ini ternyata diperhatikan oleh orang-orang di sekitar mesjid, khususnya ustadz yang mengajarku membaca Al-Quran. Tepat pada bulan April yang lalu, ada sebuah perlombaan khutbah Jumat se-kabupaten Gunung Sitoli. Ustadz berkata kepada saya; “Annas, ini ada perlombaan khutbah Jumat, kamu harus ikut perlombaan ini mewakili mesjid kita.” katanya kepadaku. Dengan wajah kaget dan merasa tidak percaya diri, aku berkata kepada ustadz; “Bagaimana kalau aku tidak bisa? Aku takut nanti malah akan membuat malu mesjid kita.” kataku. “Tidak apa-apa, yang penting ada yang mewakili mesjid kita. Dan menurut ustadz kamu layak untuk mengikuti perlombaan tersebut.” jawab ustadz. Kemdian aku berkata pada waktu itu; “Emangnya tidak ada remaja yang lain ustadz?” tanyaku dengan tidak percaya diri. “Bukan tidak ada, ada, tapi kami percaya sama kamu saja.” Sekali lagi aku bilang kepada ustdaz; “Tapi nanti kalau aku gagal, gak apa-apa ya ustadz? Jangan marah ya?” kataku. “Ya udah, gak papa.” jawab ustadz. Aku pun kemudian mengikuti perlombaan tersebut yang diadakan di dekat kantor Bupati Gunung Sitoli. Sejak kesepakatan yang ku sampaikan kepada ustadz bahwa aku bersedia untuk mengikuti perlombaan khutbah Jumat tersebut, aku pun mendapat pelatihan khusus selama dua minggu. Mulai dari bagaimana cara berbicara di mimbar, tata kesopanan, sampai materi khutbah yang menurutku cukup padat. Perlahan-lahan aku mulai menguasainya, hingga aku merasa siap untuk ikut dalam perlombaan tersebut. Lomba yang diselenggarakan oleh kementerian agama tersebut melibatkan hampir semua mesjid yang ada di Gunung Sitoli. Pembaca mungkin bisa membayangkan, betapa nyali saya mulai menciut ketika mendengar bahwa pesaing saya dalam perlombaan yang akan saya ikuti nantinya berasal dari berbagai tempat dan kecamatan yang ada di Gunung Sitoli. Tentu mereka semua sudah sangat mahir karena sudah sejak lahir beragama Islam, sedangkan aku baru saja mengenal Islam belum sampai satu tahun. Perlombaan berlangsung cukup ramai. Para peserta bersaing ketat, dan menurutku sangat bagus dalam menyampaikan khutbah. Aku pun merasa cemas, dan takut tidak akan memenangkan perlombaan tersebut. Sambil duduk mendengarkan peserta yang lain berkhutbah setelahku, aku berdoa kepada Allah; “Ya Allah semoga aku menang dalam perlombaan ini agar aku bisa membanggakan dan mengharumkan nama mesjid kami.” Kataku sambil memegang tangan yang terasa mulai mendingin karena cemas menanti pengumuman pemenang lomba. Tiga puluh menit berlalu, tiba saatnya pengumuman pemenang. Aku pun deg-degan menanti pengumuman tersebut. Alhamdulillah, dewan juri mengumumkan bahwa aku mendapat juara kedua. Sungguh ini sangat menyenangkan hatiku. Aku bangga pada diriku dan berterima kasih kepada ustadz yang telah membimbingku, sehingga aku bisa seperti sekarang ini. Terlebih lagi telah memenangkan lomba khutbah Jumat. Hati kecilku berkata; “Alangkah bahagianya ibu kalau ia tahu bahwa anaknya yang dulu nakal dan bandel telah berubah, dan insyaAllah menjadi anak yang saleh.” ujarku dalam hati. Aku ingin sekali menghadiahkan pialaku ini kepada ibu. Betapa aku sangat menyayanginya; “Aku rindu ibu……Sungguh sangat sulit kehidupanku jauh darimu.” Setelah selesai pembagian hadiah, teman-teman dan juga ustadz mendatangiku. Mereka sangat bangga kepadaku, sehingga mengacungkan jempol mereka kepadaku. Aku juga merasa tersanjung karena mereka bilang hebat. Terlebih lagi ustadz yang mengajariku khutbah; “Bagus, kamu hebat..” katanya. Banyak di antara mereka yang tidak menyangka bahwa aku akan memenangkan perlombaan ini. Apalagi aku adalah seorang muallaf yang baru saja memeluk Islam, namun subhanallah, Allah yang Maha Tahu apa yang akan terjadi pada hamba-Nya. Aku pun tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Semoga Allah memberikan jalan kemudahan bagiku, amin ya rabbal ‘alamin. Banyak yang menawarkan agar saya belajar Islam dengan mereka di rumahnya. Namun, karena banyaknya yang menawarkan untuk belajar Islam dengan mereka, maka aku pun memilih untuk belajar di mesjid saja karena takut dapat menyinggung perasaan mereka. Melihat aku tidak menerima tawaran yang diberikan oleh mereka, maka salah seorang di antaranya berkata kepadaku; “Annas, bagaimana kalau kamu melanjutkan sekolah lagi? Kamu kan masih muda masih memiliki masa depan yang panjang.” katanya padaku. Sebenarnya aku merasa senang mendengar tawaran ini, tapi karena ayahku sudah melarangku untuk bersekolah, maka aku pun tidak berani melanggarnya. Ayah memang sangat tegas, sehingga aku tidak berani menentangnya secara langsung ketika itu. Aku pun memberikan jawaban kepada seorang bapak yang menawarkan kepadaku untuk bersekolah; “Gak usah pak. Nanti bapakku marah. Kami bisa bertengkar nanti pak.” Biarlah aku seperti ini melaksanakan aktifitasku seperti apa yang selama ini aku lakukan, semoga Allah senantiasa melindungiku dalam setiap langkah perjalanan hidupku. Aku kembali melakukan aktifitas seperti biasa, setelah rasa bangga dan senang yang aku rasakan pada diriku. Bekerja sebagai tenaga kasar di apotek tidaklah membuat aku berkecil hati, melainkan aku bersyukur karena bisa bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa lagi bergantung kepada orang tuaku. Mungkin bila aku tidak bekerja seperti ini, aku tidak akan mengenal Islam dan orang-orang baik yang selalu mengajariku tentang agamaku kini. Aku semakin senang karena aku bisa beribadah dan belajar Islam setiap hari, sehingga aku semakin memahami Islam. Salat tidak pernah aku tinggalkan karena aku tahu akan kewajibanku sebagai seorang Muslim yang harus melakukan salat dalam kondisi dan keadaan apa pun. Begitu pula dengan puasa. Alhamdulillah, meskipun aku baru memeluk Islam, namun keinginnanku untuk mematuhi kewajibanku sangat tinggi dan aku memulainya pada bulan ramadhan yang lalu. Sungguh di luar dari perkiraan ustadz dan teman-temanku sesama Muslim, aku menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, serta melakukan ibadah-ibadah sunnah di bulan ramadhan, seperti salat tarawih dan membaca Al-Quran. “Ternyata Islam itu sangat indah dan teratur.” tuturku dalam hati. Aku bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada orang-orang yang pada waktu itu sangat mendukungku untuk mempelajari Islam karena mereka dengan ikhlas membantuku tanpa mengharap sesuatu pun dariku. Tepat beberapa hari pada akhir bulan syawal, adalah seorang tokoh masyarakat di tempat aku bekerja yang memiliki niat mulia kepadaku. Namanya bapak Ali, ia berkata; “Annas, bagaimana jika kamu masuk pesantren saja? Ini lebih baik bagimu. Disamping usiamu masih muda, kamu juga dapat memperoleh banyak ilmu dari situ. Bagaimana Annas?”, ucapnya. Aku pun berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan kepada saya. “Bagaimana caranya pak? Di pesantren mana nanti saya akan belajar?” jawabku. “Nanti saya pertemukan dengan teman saya, namanya ustadz Abdul Aziz Laia. Dia di Jakarta, dan kebetulan juga mengajar di pesantren khusus muallaf. Biar nanti saya yang bilang kepada beliau.” ujarnya. Beberapa hari kemudian, saya dipertemukan dengan ustadz Abdul Aziz Laia. Beliau menjelaskan tentang pesantren pembinaan muallaf An-Naba Center yang ada di Jakarta bahwa pesantren tersebut adalah pesantren yang khusus membina para muallaf agar memiliki pemahaman yang mendalam tentang Islam. Aku sungguh tertarik, dan ingin segera berangkat kesana; “Baik ustadz, aku akan berangkat bersama ustadz ke Jakarta agar aku bisa mempelajari Islam dan mendalaminya”, kataku. Beberapa hari kemudian, aku pergi ke Jakarta bersama ustadz Aziz, panggilan akrab ustadz Abdul Aziz Laia. Aku pergi bersamanya tanpa memberi tahu orang tuaku bahwa aku akan belajar Islam di pesantren karena bila ayahku tahu pasti dia akan marah dan tidak mengizinkan aku berangkat. Aku pun terpaksa berbohong kepada ayah dengan mengatakan bahwa aku tidak pergi untuk belajar ke pesantren melainkan aku katakan bahwa aku akan bekerja dan menginap di rumah teman di Jakarta. Dengan alasan yang ku sampaikan tersebutlah orang tuaku mengizinkan aku berangkat ke Jakarta. Mungkin karena budaya merantau yang ada di daerah tempat tinggal kami yang sudah berlangsung lama, sehingga tidak ada larangan yang berarti terhadapku, asal saja mereka tidak mengetahui bahwa aku telah memeluk Islam dan belajar Islam di pesantren. Memang sebagai orang tua, mereka tidak mau jauh dari anaknya, tapi karena saya memaksa dan atas penjelasan dari orang-orang kampung bahwa laki-laki tidak ada salahnya pergi merantau, apalagi untuk memperbaiki ekonomi. Akhirnya, aku pun terbang ke Jakarta demi tujuanku mendalami agama Islam. Sesampainya di Jakarta, aku langsung mondok di pesantren An-Naba’ Center. Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah bahwa aku telah tinggal di pesantren yang semua santrinya mayoritas bernasip hampir sama denganku, yaitu menjadi muallaf. Di pesantren ini aku menimba ilmu, dengan tekun mempelajari Islam bersama santri yang lain yang diajarkan oleh para ustadz. Sungguh aku sangat senang, namun kesenangan yang kualami saat ini tidak berlangsung lama. Beberapa saat setelah kedatanganku di Jakarta ayahku tahu bahwa aku telah masuk agama Islam. Bukan main marah dan berangnya ia mendengar salah seorang anaknya telah memeluk Islam tanpa sepengetahuannya. Lebih lagi, aku telah membohonginya bahwa aku ke Jakarta untuk bekerja, bukan malah menuntut ilmu di pesantren. Inilah yang kemudian membuatnya sangat emosi dan kemudian menghubungi aku lewat hp. Tepat ketika aku sedang berada di sekolah, ayahku menghubungiku. Kri……ng suara handphoneku berdering, kulihat ayahku yang melakukan panggilan. Tanpa rasa curiga dan takut aku pun mengangkat dan menjawab telepon ayahku; “Ada apa pak?” kataku baik-baik. Bukan perkataan yang baik pula yang ayah sampaikan kepadaku, bukan pula pertanyaan kabar atau semacamnya. Justru aku di maki-maki oleh ayah tanpa tahu apa sebabnya ketika itu. “Babi kau…., anjing kau…..!” katanya dengan nada kasar. Karena tidak tahu apa salahku, sebagai anak yang patuh aku pun meminta maaf kepadanya; “Maaf pak, maaf, memang aku salah apa pak?” kataku. Ayahku pun kemudian berkata; “Kurang ajar kau! Kau itu sudah menghianati keluarga kita. Gimana kalau saudara-saudara bapak dengar tentang kau?”. “Apa itu pak?” kataku dengan penasaran. “Hem…masih pura-pura gak tahu lagi! Bapak sudah dengar dari kawan-kawanmu kalau kamu sudah masuk Islam.” katanya. Aku langsung terdiam sesaat. Memang teman-temanku iri kepadaku setelah aku masuk Islam. Padahal, dahulunya mereka adalah teman baikku ketika aku masih Kristen. Namun, karena kebaikan orang Muslim di sekitar tempatku bekerja, mereka menjadi iri dan memusuhiku, lalu memberi tahu ayah tentang aku. Ayahku memaksaku untuk pulang, hingga ia mengancamku lewat handphone. “Pulang kau! Kalau kau gak pulang, nanti adikmu saya bunuh. Ibumu yang kau sayangi juga nanti ku bunuh!”. Mendengar ancaman yang dilontarkan oleh ayahku, aku pun naik pitam dan berkata kepadanya; “iyalah pak aku pulang! Coba nanti kalau aku pulang, bapak masih berani bunuh ibu apa nggak!” ancamku kembali. Mendengar perlawanan yang aku ucapkan, ia marah dan kembali memaki-maki aku; “Kurang ajar kau! Babi kau! Anji…ng!” makiannya semakin keras ku dengan lewat hp karena aku terbawa emosi, akupun mematikan hp agar tidak ada teman sekolah yang tahu tentang ini. Selama tiga hari berturut-turut aku terus mendapat ancaman dari ayah, hingga aku sakit karena tidak nafsu makan. Aku benar-benar dihantui rasa cemas dan khawatir yang sangat mendalam karena aku sangat menyayangi ibu. Ibulah orang pertama yang mengetahui bahwa aku telah memeluk Islam, dan dia pulalah yang mengerti akan keadaanku ini, tidak dengan ayah. Rasa cemas dan khawatir menghantui pikiranku. Setelah kembali dari sekolah, aku pun memutuskan untuk pulang ke Nias. Tidak mungkin aku membiarkan sesuatu yang buruk menimpa ibuku. Aku pun berbicara kepada ustadz Aziz bahwa aku ingin pulang ke Nias. Aku khawatir terhadap ibu dan adik-adikku di sana, takut ayahku berbuat yang tidak-tidak kepada mereka. Ustadz Aziz tidak bisa memberi keputusan. Ia kemudian mengajakku bertemu ustadz Syamsul Arifin Nababan, pimpinan pondok pesantren An-Naba’ Center. Ustadz berusaha menenangkan aku yang sedang khawatir dan memberikan penjelasan yang masuk akal padaku. Katanya; “Annas, kamu jangan cemas dan khawatir. Biar bagaimana pun, ibumu adalah istri ayahmu dan adik-adikmu adalah darah dagingnya. Jadi, dia tidak mungkin menyakiti mereka.” kata beliau. Mendengar perkataan beliau itulah akhirnya aku mengurungkan niatku untuk kembali ke Nias. Aku pun sedikit lega, dan mulai pada saat itu aku tidak lagi menggunakan kartu seluler yang biasanya aku pakai. Aku mengganti nomor handphone-ku dan menggunakan yang baru agar ayah tidak dapat mengancamku lagi. Hingga tulisan ini diterbitkan, aku tidak tahu kabar keluargaku di kampung. Bukan karena aku tidak sayang kepada mereka, justru sebaliknya, aku tidak mau hal yang buruk terjadi kepada mereka. Aku hanya bisa memohon kepada Allah, semoga Ia melindungi ibu dan adikku dari kekejaman ayahku. Sungguh aku tidak berdaya akan menentangnya kini. Aku pun berharap, sepulangnya aku dari pesantren pembinaan muallaf An-Naba’ Center ini, aku dapat menjadi pribadi Muslim yang militan, yang nantinya dapat mendakwahi keluargaku terutama ayah. Jika ayah mengetahui indahnya Islam dan masuk dalam agama Islam, maka ibu dan adik-adikku pasti juga akan masuk Islam bersamanya. Aku yakin!