Hikmah
BERJUMPA DENGAN MATI
Dikirim tanggal Sep 19, 2012 5:35:20 AM 1,866 Kali dibaca
Oleh: Drs. H. Safaruddin Hasibuan
Suatu ketika, dihadapan para muridnya Imam Al-Ghazali bertanya tentang apa yang paling dekat. Sebelum para murid itu menjawab, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa yang paling dekat itu adalah mati. Tidak ada yang lebih dekat dari manusia selain kematian. Kematian adalah misteri bagi manusia yang setiap saat datang tanpa seorang manusia pun tahu. Kematian itu datang tanpa pernah memberi tahu. Dan ketika ia datang, tidak seorang pun diberikan kesempatan untuk bernegosiasi apalagi menolak. Kematian tidak kenal kompromi, saat ia datang tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali menerimanya. Tak ada kesempatan untuk menghindar dengan dalih dan alasan apapun. Kematian mendatangi manusia dalam keadaan apapun, termasuk mendatanginya dalam keadaan sehat dan senang. Dan kematian juga tidak bisa dipaksa datang kepada manusia yang putus asa karena sedang menahan rasa sakit luar biasa. Kematian memiliki logikanya sendiri. Karena itu Allah mengingatkan manusia: (ق�?لْ إ�?نَّ الْمَوْتَ الَّذ�?ي تَ�?�?ر�?ّونَ م�?نْه�? �?َإ�?نَّه�? م�?لَاق�?يك�?مْ ث�?مَّ ت�?رَد�?ّونَ إ�?لَى عَال�?م�? الْغَيْب�? وَالشَّهَادَة�? �?َي�?نَب�?ّئ�?ك�?مْ ب�?مَا ك�?نْت�?مْ تَعْمَل�?ونَ (8 Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Al-Jum'ah: 8). Ayat di atas menegaskan kehadiran mati yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Tapi bukan mati itu sendiri yang menjadi stressing poin dalam ayat itu. Tetapi yang terpenting adalah pertanggungjawan setelah mati. Kematian tidak lebih dari fase yang memisahkan antara masa bercocok tanam dan masa memanen. Kematian itu menandai selesainya kesempatan manusia untuk menabung. Setelah mati, manusia hanya bisa melakukan satu pekerjaan yaitu menikmati tabungan yang berupa amal itu. Bagi mereka yang memiliki tabungan banyak, tentu akan merasa senang dan bahagia. Saatnya ia menikmati hasil tabungan yang dikumpulkan pra kematian. Namun, bagi mereka yang sedikit tabungannya, atau malah defisit, maka hanya akan ditimpa penyesalan. Sebuah penyesalan yang tidak memberi makna dan nilai keuntungan apapun. Dalam salah satu ayat al-Qur'an Allah menggambarkan orang-orang yang menyesal: وَأَنْ�?�?ق�?وا م�?نْ مَا رَزَقْنَاك�?مْ م�?نْ قَبْل�? أَنْ يَأْت�?يَ أَحَدَك�?م�? الْمَوْت�? �?َيَق�?ولَ رَب�?ّ لَوْلَا أَخَّرْتَن�?ي إ�?لَى أَجَل�? قَر�?يب�? �?َأَصَّدَّقَ وَأَك�?نْ م�?نَ الصَّال�?ح�?ينَ (10) وَلَنْ ي�?ؤَخ�?ّرَ اللَّه�? نَ�?ْسًا إ�?ذَا جَاءَ أَجَل�?هَا وَاللَّه�? خَب�?يرٌ ب�?مَا تَعْمَل�?ونَ (11 "Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?" Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Munafiqun: 10-11). Umumnya manusia menyesal karena hilangnya kesadaran akan fungsi hidup di dunia sebagai lahan bercocok tanam dan memperbanyak tabungan. Sebagian sadar ketika kenikmatan dunia dijauhkan darinya. Ini adalah anugerah luar biasa mengingat kenikmatan dunia sebagaimana diungkapkan ayat di atas seringkali membuat manusia lupa akan tugas hakikinya. Adanya kepastian akan datangnya kematian mesti menyadarkan manusia untuk selalu mempersiapkan diri menyambutnya. Ada beberapa hal yang efektif untuk menyambut kematian. Diantaranya adalah: pertama, selalu ingat kepada mati. Adanya kesadaran bahwa setiap manusia mengalami fase kematian. Dan manusia harus bersedia setiap saat untuk didatangi kematian. Tidak penting kapan kematian akan memanggilnya, tapi yang terpenting adalah kesiapan selalu menyambut kedatangan kematian. Ingat akan mati membuat manusia untuk selalu siap menyambut kematian. Hal inilah yang pernah dialami oleh seorang sufi bernama Ibnu Arabi. Suatu ketika, dalam keadaan sakaratul maut, Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi dikerumuni tangis keluarga, saudara dan murid-muridnya. Mereka, dengan tangisannya, menyatakan kesedihan atas keadaan Ibnu Arabi. Melihat keadaan seperti itu Ibnu Arabi berkata kepada keluarga, saudara dan murid-murid yang hadir di situ: wahai keluargaku, saudaraku dan murid-muridku, mengapa kalian menangis? Tidak perlu kalian sedih, karena aku tidak pernah sedih dengan kematian ini. Justru inilah saat yang aku tunggu, dimana kematian ini akan membawaku bertemu dengan Kekasihku yaitu Allah. Aku merindukan-Nya. Dan saat inilah kerinduanku akan menemukan jalannya. Tidak ada kenikmatan yang melampui pertemuan seorang hamba dengan Robnya. Karena itu, tidak perlu kalian sedih karena sesungguhnya aku sedang dalam bahagia. Bagi orang yang telah merindukan Allah, kematian akan selalu diingatnya dan menjadi bagian dari sesuatu yang membahagiakan. Hal ini pernah diungkapkan oleh nabi: "Perbanyaklah kalian ingat kepada mati. Tidak ada seorang hamba yang selalu ingat kepada mati kecuali dihidupkan selalu hatinya dan diringankan proses menuju kematiannya." Mereka yang selalu ingat kepada mati akan selalu dihidupkan hatinya. Hati yang hidup adalah hati yang penuh kesadaran, kewaspadaan dan ketulusan. Sadar akan hakekat hidupnya, waspada atas semua dinamika yang mengelilingi hidupnya, dan selalu mampu memelihara ketulusan hati dalam setiap ibadah dan amalnya. Hati yang selalu hidup memudahkan seseorang untuk selalu berada dalam kebaikan. Orang-orang seperti ini melihat kepentingan dunia tidak lebih dari kesempatan untuk beramal dan persiapan hidup pasca kematian. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak akan pernah khawatir akan datangnya kematian. Saat kematian datang, ia pun tak akan ditimpa kesedihan dan penyesalan. Kematian pada hakekatnya adalah masa depan kita yang terindah. Sebuah perjalanan menuju kampung halaman yang kita rindukan. Layaknya orang yang sedang berwisata, kematian itu menyenangkan. Setiap orang, tanpa terkecuali, diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan ini. Sebuah kesempatan yang tidak boleh dan tidak bisa ditolak. Penolakan hanya akan mendatangkan ketakutan yang berakibat kesengsaraan. Tak ada jalan kecuali menerimanya dengan ikhlas. Hanya dengan menerima kematian sebagai bagian dari perjalanan kita, maka hidup ini akan terasa ringan. Dengan menerima kematian, kita akan terasa dekat dengan mati. Begitulah Al-Ghazali memberikan nasehat terhadap muridnya. Karena kematian begitu dekat, maka tak ada hal lain yang bisa kita perbuat kecuali mempersiapkannya.