Hikmah

PARADIGMA SEORANG MUKMIN

Dikirim tanggal Sep 24, 2012 9:14:28 AM 1,913 Kali dibaca

PARADIGMA SEORANG MUKMIN

Oleh Dr.Muhammad Faisal Hamdani,M.A

Thomas Kuhn, salah seorang ahli filsafat alumni Harvard University, mengakatan Paradigma adalah cara pandang saintifik (seseorang) terhadap dunia dan susunan teori-teori dan asumsi-asumsi yang mempengaruhi pandangannya. Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa paradigma (cara pandang) seseorang sangat dipengaruhi oleh ilmu, teori-teori dan asumsi-asumsi yang dimilikinya. Paradigma Seorang Mukmin Terhadap Diri dan Kehidupannya Seorang mukmin pasti memandang dirinya sebagai abdi Allah, bukan abdi kertas-kertas (uang), bukan pula abdi jabatan, prestise, kemewahan dan sebagainya. Analisis dan renungkanlah dengan baik, kita sebagai manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, diciptakan sebagai makhluk terbaik, ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan sehingga apapun yang ada di bumi ini diciptakan Allah SWT untuk tunduk-mengabdi pada kepentingan manusia. Perhatikanlah langit, berdiri tegak atas perintah Allah, tidak ada yang menahannya dari kejatuhan kecuali Allah. Perhatikanlah lautan setiap hari diisi Allah dengan ikan demi kelangsungan hidup manusia, dan perhatikanlah bumi semua kebutuhan pokok manusia seperti padi, sayuran, buah-buahan tumbuh dengan izin Allah SWT. Bayangkan saja jika Allah membatasi kemampuan maksimal tanah untuk menumbuhkan tanaman hanya 10 kali saja, sebagaimana benda-benda lain yang memiliki kemampuan terbatas, kemana kita akan mencari gantinya..? Renungkanlah juga jika seluruh binatang buas; singa, harimau, gajah, semut, ular, kalajengking, monyet berkumpul untuk membinasakan manusia, maka binasalah kita seluruhnya. Tapi ini tidak akan terjadi karena rencana Allah SWT menciptakan bumi dan isinya hanya buat kepentingan manusia. Sadarkah manusia tentang hal ini..? Dalam sebuah ayat dikatakan yang artinya:   وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْ�?ًا مَحْ�?�?وظًا وَه�?مْ عَنْ آيَات�?هَا م�?عْر�?ض�?ونَ (32 dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara (saqfam mahfuzha), sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya (Q.S. Al-Anbiya' [21]: 32) Harun Yahya menafsirkan ayat ini dengan mengatakan yang dimaksud langit sebagai atap yang terpelihara adalah; dalam ilmu astronomi ditemukan di atas langit terdapat satu lapisan udara (langit, tafsir kontemporer) yang berfungsi menjaga bumi dari hantaman meteor-meteor yang setiap tahun ratusan atau bahkan ribuan ingin menabrak bumi. Lapisan udara (langit) ini memantulkan meteor itu ke luar angkasa agar tidak dapat menyentuh bumi. Bahkan kata beliau, lapisan itu juga berfungsi menyaring sinar (cahaya) matahari agar hanya bagian-bagian penting dari cahaya itu (yang diperlukan manusia saja) bisa sampai ke bumi sedangkan bagian-bagian yang berbahaya tertahan dan tidak sampai ke bumi. Demikianlah betapa sayangnya Allah SWT kepada manusia, makhluk bumi, ciptaan terbaik-Nya sampai-sampai untuk bumi tempat tinggal mereka juga disiapkan atap pemeliharanya (saqfam mahfuzha). Ada juga sebagian ulama yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan terpelihara ialah segala yang berada di langit itu dijaga oleh Allah dengan peraturan dan hukum-hukum yang menyebabkan dapat berjalannya dengan teratur dan tertib. Nah, pertanyaan halus buat kita adalah; mungkinkah kita mengabdikan diri kepada selain Allah setelah Allah menciptakan diri kita, menyediakan segala kebutuhan hidup kita, menciptakan tempat tinggal kita (bumi) dan melindunginya dari kehancuran..? Maha Suci Allah yang Maha Rahman. Kenapa masih mencari tempat pengabdian selain Allah SWT..? Untuk itu tidak sepantasnya manusia mengabdikan diri kepada selain-Nya, kepada hawa nafsu, setan, kertas-kertas (uang) yang jika terbakar hancur seluruhnya, jabatan yang ketika dia mati pindah ke tangan orang, kemewahan ketika dia kembali kehadirat-Nya, dia meninggalkan banyak beban dan seterusnya.   Bagaimana Menjadikan Diri Sebagai Abdi Allah SWT. Setiap kali ingin menghadap Allah nabi saw mengajarkan kita untuk mengatakan: Inna salati, wanusuki, wa mahyaya, wamamati lillahi Rabbil ‘Alamin (sesungguhnya hidupku, aktifitasku, perjalanan hidup-matiku hanya kupersembahkan kepada Allah Rabb sekalian alam/pencipta diriku). Ini bermakna bahwa apapun yang kita lakukan harus dilakukan lillahi ta'ala (karena Allah SWT). Itulah sebabnya seluruh imam mazhab baik Hanafi, Malik, Syafi'I maupun Hanbali mewajibkan kita berniat dalam melakukan aktifitas baik apapun, terutama ibadah mahdah dengan ungkapan "lillahi ta'ala". Anda akan menemui kata-kata ini setiap kali ingin salat, Ushalli farda al-maghribi tsalasa raka'atin lillahi ta'ala, ketika ingin berpuasa nawaitu sauma ghadin.....lillahi ta'ala, ketika ingin haji; nawaitu al-hajj ...lillahi ta'ala,....ketika berzakat; aku keluarkan zakat fitrah....lillahi ta'ala. Ini artinya apapun kebaikan yang kita lakukan, wajib dilakukan karena Allah SWT agar semua yang kita lakukan dipandang ibadah atau menjadi sebuah pengabdian kita kepada Allah SWT. Pantas saja Allah mengatakan: Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku (al-ayah) Untuk itulah nabi saw bersabda: Setiap amal (perbuatan) tergantung pada niatnya, dan semua urusan tergantung pada niatnya (HR.Bukhori-Muslim). Jika niat kita berpolitik ingin menegakkan nilai-nilai kebaikan/agama, mengabdi pada kepentingan bangsa dan Negara karena Allah, maka jadilah diri kita sebagai pejabat/penyambung tangan Allah SWT, jika terjun kedunia entertainment untuk mendidik anak bangsa; memperbaiki moral, membangun kepribadian yang jujur, berbuat baik pada orang tua, maka jadilah profesi itu juga sebagai bentuk pengabdian kita pada Allah SWT. Demikian juga aktifitas-aktifitas baik lainnya, menjadi dokter ingin membantu meringankan beban masyarakat dari penderitaan sakit, menjadi ahli listrik ingin menerangi kehidupan masyarakat, menjadi insinyur bangunan ingin mendirikan rumah tempat berdiamnya masyarakat dan jika semua dilakukan karena Allah (lillahi ta'ala), maka jadilah profesi itu bermanfaat dunia-akhirat (sebagai bentuk pengabdian kita pada Allah SWT).             Perhatikanlah ayat berikut:  وَابْتَغ�? �?�?يمَا آتَاكَ اللَّه�? الدَّارَ الْآخ�?رَةَ وَلَا تَنْسَ نَص�?يبَكَ م�?نَ الد�?ّنْيَا وَأَحْس�?نْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّه�? إ�?لَيْكَ وَلَا تَبْغ�? الْ�?َسَادَ �?�?ي الْأَرْض�? إ�?نَّ اللَّهَ لَا ي�?ح�?ب�?ّ الْم�?�?ْس�?د�?ينَ (77 Artinya:  dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan/diberikan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S. Al-Qashash [28]: 77) dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan/diberikan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, Ini bermakna gunakanlah apasaja yang diberikan Allah padamu baik berupa kesehatan, harta, pangkat, jabatan, kecerdasan, profesi, keahlian apa saja yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Artinya manfaatkanlah dia dengan niat karena Allah agar semua anugrah itu menjadi pengabdianmu kepada Allah dan bermanfaat di akhirat. , dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia. Maksudnya semua yang diberikan Allah itu juga memiliki manfaat duniawi. Kedua penggalan ayat ini menunjukkan bahwa seorang mukmin harus memiliki kepribadian yang utuh, di mana dirinya, ilmunya, jabatannya, hartanya, profesinya, keahliannya dan kecerdasannya harus bermanfaat untuk akhirat dan dunia. Bukan kepribadian yang terpecah (split personality) dan bermata satu seperti dajjal yang hanya menggunakan segala yang Allah berikan padanya untuk kepentingan hawa nafsu, birahi duniawi semata.  Penutup Tanyakanlah pada hati kecil kita, diri kita, pantaskah makhluk termulia, terbaik seperti kita mengabdikan diri kepada makhluk-makluk atau benda-benda rendahan lainnya baik berupa kertas-kertas (uang), jabatan, hawa nafsu, setan dan lainnya..? Iman kita akan menolak untuk mengabdikan diri pada selain pencipta diri ini sendiri. Maka dari itu, gunakanlah segala apa yang diberikan-Nya hanya untuk mengabdi pada-Nya dengan menggunakan anugrah-Nya itu di jalan kebaikan. Jabatan digunakan di jalan kebaikan lillahi ta'ala (karena Allah Ta'ala), harta lillahi ta'ala, akal, profesi, kecerdasan lillahi ta'ala karena diri yang mulia ini hanya pantas mengabdi pada pencipta diri yang Maha Mulia, yaitu Allah SWT. Hanya dengan begitulah kebaikan/kebahagian ganda dunia-akhirat akan diperoleh manusia. Itulah kesempurnaan menjadi abdi Allah SWT.