Kajian

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perpesktif Al-Qur'an dan Al-Sunnah

Dikirim tanggal 13 Mar 2009 03.40.51 15.934 Kali dibaca

Oleh: Ust. Syamsul Arifin Nababan

Pendahuluan

Islam adalah agama rahmatal lil'�?lamin (agama yang mengayomi seluruh alam). Islam mengakui perbedaan sebagai kenyataan tak terbantahkan. Dengan pengakuan ini, Islam menghormati keragaman dan menganjurkan agar keragaman menjadi instrumen kerja sama di antara manusia. Perbedaan adalah sunnatullah, karena dengannya manusia bisa saling melengkapi (take and give). Perhatikan QS, 49: 11-13.             Pengakuan, penghormatan, keadilan[1] dan kerja sama adalah elemen-elemen penting dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Elemen-elemen itu terdapat dalam sumber Islam (Syari'ah). Memang al-Qur'an tidak berbicara spesifik tentang HAM. Mengenai HAM, Al-Qur'an berbicara pada tataran prinsip seperti: keadilan, musyawarah, saling menolong, menolak diskriminasi, menghormati kaum wanita, kejujuran, dan lain sebagainya. Rincian atas konsep-konsep itu dilakukan dalam Hadis dan tradisi tafsir. Karena itu, nilai-nilai HAM adalah kelanjutan dari prinsip-prinsip ajaran Islam di atas. Perbedaan antara Syari'ah dan konsep HAM terjadi pada aspek-aspek rinci (furu'iyyah) sehingga secara prinsipal tidak ada problem.             Paper berikut akan menyoroti prinsip-prinsip HAM dalam Islam. Paralelisme antara ajaran Islam dengan konsep HAM akan dielaborasi sebagai kenyataan bahwa nilai-nilai universal tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai universal lainnya. Ada titik temu (common values/kalimatun saw�?) antara Syari'ah dengan konsep HAM dan konsep manusia apapun yang menyerukan kebajikan-kebajikan universal. Selain itu, perbedaan antara konsep HAM dalam Islam dan  konsep HAM menurut Barat juga akan disinggung sebagai comparative perspective (wawasan pembanding).   Nilai-Nilai HAM dalam Syari'ah             Secara normatif, nilai-nilai HAM dirumuskan oleh PBB dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (Universal Declaration of Human Rights) PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini disepakati oleh 48 negara dimaksudkan untuk menjadi standar umum yang universal dari hak asasi manusia bagi sleuruh bangsa dan umat manusia. Deklarasi ini menyebutkan seluruh hak dan kebebasan yang dinikmati setiap individu tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik, dan opini lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, status kekayaan, kelahiran, dan status lainnya.             Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal. Secara umum pasal-pasal itu mengatur hak-hak yang menjunjung tinggi martabat manusia baik sebagai individu, anggota masyarakat bangsa, maupun masyarakat internasional.             Dilihat dari tujuan, nilai-nilai HAM di atas sangat universal dan baik. Harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi terlepas dari perbedaan ras, agama, warna kulit, dan perbedaan lainnya. Dalam konteks ajaran Islam, nilai-nilai itu diakui sebagai sunnatullah.[2]             Islam adalah agama yang universal dan komprehensif yang melingkupi beberapa konsep. Konsep yang dimaksud yaitu aqidah, ibadah, dan muamalat yang masing-masing memuat ajaran keimanan. Aqidah, ibadah dan muamalat, di samping mengandung ajaran keimanan, juga mencakup dimensi ajaran agama Islam yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan berupa syariat atau fikih. Selanjutnya, di dalam Islam, menurut Abu A'Ala Al-Maududi, ada dua konsep tentang Hak. Pertama, Hak Manusia atau huquq al-ins�?n al-dharuriyyah. Kedua, Hak Allah atau huquq Allah. Kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan. Dan hal inilah yang membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM menurut perspektif Barat.             Perlu dicatat bahwa inti dari HAM adalah egalitarianisme,[3] demokrasi, persamaan hak di depan hukum, dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Elemen-elemen itu mengejawantah dalam bentuk di antaranya dalam perbedaan dan keragaman dalam arti yang luas. Perbedaan, misalnya dalam pandangan Islam, adalah kehendak Allah karena itu segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam (satu agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik) adalah penyangkalan terhadap sunnatullah itu. Dalam al-Qur'an Allah menegaskan, yang artinya: "dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"  QS, Yunus [10]: 99.               Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain, membuat tekanan sentral yang lebih memperjelas ayat ini dengan mengatakan, "hendak kau paksa jugakah orang untuk melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin melakukannya terhadap mereka?" [4]

Penegasan Jalalain dapat mempertegas bahwa usaha untuk menyamakan semua perbedaan semua umat manusia adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM. Ini juga menunjukkan bahwa dengan perbedaan manusia didorong untuk saling menolong dan bekerjasama. Karena itu, sikap menghargai atas perbedaan di antara manusia adalah sikap primordial yang tumbuh secara organik sejak Islam diserukan kepada umat manusia 1500 tahun yang lalu.             Islam menyadari bahwa mengakui perbedaan adalah sikap paling realistis. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah: 272 "Bukan tugasmu (hai Rasul) memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapapun yang kekehendaki-Nya". Ayat-ayat ini adalah prinsip HAM dalam beragama dan dalam menghormati perbedaan. Namun demikian, ayat ini menganjurkan agar setiap orang yang beriman harus tetap teguh tanpa harus terpengaruh oleh ajaran yang lain.             Selain prinsip HAM di atas, prinsip-prinsip lain yang bersifat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia adalah kritik Islam atas ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan diskriminasi. Nilai-nilai ini adalah juga yang diperjuangkan oleh HAM. Sejak 1500 tahun yang lalu, al-Qur'an menyampaikan kritik ini seperti ketidakadilan ekonomi dalam pernyataan "kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja", QS, 59:7. Juga aturan zakat dalam QS 9:60 memperkuat bagaimana Islam peduli pada orang-orang tertindas yang perlu ditolong dan ditingkatkan harkat dan martabatnya. Melakukan pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah perbuatan melanggar agama dan HAM.             Selanjutnya, pada level sosial-politik al-Qur'an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek. Unit keluarga adalah dasar keharmonisan di mana harkat manusia mulai ditegakkan. Karena itu al-Qur'an peduli pada aspek ini seperti diterangkan dalam QS, 2: 83, 4:36, 6:161, 17:23, 29:8, dan lain-lain. Karena itu, peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa bermakna jika dikaitkan dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Prinsip-prinsip al-Qur'an di atas mengatur sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak dilanggar baik dalam tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.

Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan hukum adalah prinsip-prinsip kunci yang sangat diperhatikan di dalam Syari'ah. Dalam sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam sebagai cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.             Dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas di atas, maka setiap pemaksaan kehendak, penindasan, diskriminasi, intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang menyalahi sunnatullah bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini dilakukan oleh oknum umat Islam, namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam. Penegasan ini perlu, karena semua  pelanggaran HAM dalam bentuk pemerintahan otoriter (Sadam Husen, Khomeini, Kadafi, dan lain-lain), dalam bentuk terorisme, dan dalam bentuk penindasan kaum wanita selalu dialamatkan kepada umat Islam. Terorisme adalah persoalan politik dan ada di setiap agama manapun. Terorisme bukan ajaran agama karena ia bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sunnatullah.

Dalam sejarah, pelanggaran semacam ini pernah dilakukan oleh setiap agama. Namun, akan lebih bijak kalau pelanggaran dan kekejaman atas nama agama bukan karena ajaran agama itu sendiri, tetapi semata-mata oleh oknum-oknum umat beragama yang salah menginterpretasikan ajaran agamanya. Di sini perlu adanya upaya-upaya kerja sama di antara semua pemeluk agama untuk mencari akar-akarnya sehingga ajaran agama tidak menjadi pendorong pelanggaran HAM.             Secara normatif, tidak ada agama yang menganjurkan kekerasan, kekejaman, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Dalam konteks ajaran Islam, ia justru menawarkan konsep kerja sama berdasarkan keadilan, saling menghormati, dan persaudaraan. Masalah keyakinan adalah masalah Tuhan, yang manusia sendiri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal ini ditegaskan dalam QS, 16:125, "Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih mengetahui daripada engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk".  Prinsip ini mempertegas bahwa dahulukan penghormatan terhadap HAM dan jangan engkau hiraukan keyakinannya selama ia tidak memusuhi dan melakukan penyerangan. Dengan kata lain, keyakinan yang berbeda jangan menghalangi kerja sama dan saling menghormati di antara manusia. Prinsip al-Qur'an ini menjadi jalan umat Islam untuk menjadi pelopor dalam toleransi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Umat Islam semestinya tidak gamang berbicara soal HAM, karena prinsip-prinsipnya telah diajarkan dalam al-Qur'an 1500 tahun yang lalu.[5] Kegamangan untuk menegakkan HAM oleh umat Islam justru menandai kemunduran perspektif Islam dan membiarkan prinsip ini tidak aplikatif.             Penggalian prinsip-prinsip HAM dari Syari'ah memang sudah mulai dilakukan oleh sejumlah ulama. Hasilnya adalah munculnya karya-karya tentang HAM. Bahkan dengan pengayaan baru bahwa Hak Asasi Manusia harus satu paket dengan Kewajiban[6] Asasi Manusia. Konsep Syari'ah tentang HAM dan seluk-beluknya masih terus dapat digali. Bahkan bisa ditambahkan ke dalam muatan HAM yang sudah ada. Pengembangan nilai-nilai HAM dengan pengayaan prinsip-prinsip Syari'ah dapat menjadi pilihan masa depan yang selanjutnya membentuk semacam "Teologi Toleransi", "Teologi HAM", atau "Teologi Kerukunan Beragama".             Selanjutnya "Teologi HAM" dapat dirumuskan melalui kajian tafsir tematik (maudhu'iy), yakni mengklasifikasikan ayat-ayat yang memuat tema HAM kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep-konsep utama tentang "Teologi HAM". Langkah semacam ini bisa diambil dari lompatan sejarah Islam tentang HAM sebagaimana tertulis dalam Piagam Madinah (al-Dustur al-Madinah) dan Cairo Declaration.             Dalam deklarasi Madinah melalui Piagam Madinah yang terdiri 47 point merupakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) bagi negara Islam yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah.[7]             Fenomena Piagam Madinah yang dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama tersebut sampai menimbulkan decak kagum dari seorang sosiolog modern terkemuka berkebangsaan Amerika, yaitu Robert N Bellah, yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.[8]             Adapun ajaran pokok dalam Piagam Madinah itu adalah: Pertama, interaksi secara baik dengan sesama, baik pemeluk Islam maupun non Muslim. Kedua, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Ketiga, membela mereka yang teraniaya. Keempat, saling menasihati. Dan kelima menghormati kebebasan beragama. Satu dasar itu yang telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah.             Selain deklarasi Madinah juga terdapat deklarasi Cairo yang memuat ketentuan HAM yakni Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. Al-Isra : 70, An Nisa : 58, 105, 107, 135 dan Al-Mumahanah : 8). Hak Hidup (QS. Al-Maidah : 45 dan Al - Isra : 33). Hak Perlindungan Diri (QS. al-Balad : 12 - 17, At-Taubah : 6). Hak Kehormatan Pribadi (QS. At-Taubah : 6). Hak Keluarga (QS. Al-Baqarah : 221, Al-Rum : 21, An-Nisa 1, At-Tahrim :6). Hak Keseteraan Wanita dan Pria (QS. Al-Baqarah : 228 dan Al-Hujrat : 13). Hak Anak dari Orangtua (QS. Al-Baqarah : 233 dan surah Al-Isra : 23 - 24).             Selanjutnya, Hak Mendapatkan Pendidikan (QS. At-Taubah : 122, Al-Alaq : 1 - 5). Hak Kebebasan Beragama (QS. Al-kafirun : 1 - 6, Al-Baqarah : 136 dan Al Kahti : 29). Hak Kebebasan Mencari Suaka (QS. An-Nisa : 97, Al Mumtaharoh : 9). Hak Memperoleh Pekerjaan (QS. At-Taubah : 105, Al-Baqarah : 286, Al-Malk : 15). Hak Memperoleh Perlakuan yang Sama (QS. Al-Baqarah 275 - 278, An-Nisa 161, Al-Imran : 130). Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqarah : 29, An-Nisa : 29). Dan Hak Taharan (QS. Al-Mumtaharah : 8). Ayat-ayat di atas yang secara tematik dapat menjadi konsep-konsep utama al-Qur'an tentang HAM dapat diperluas lagi.             Dari gambaran di atas baik deklarasi Madinah maupun deklarasi Cairo, betapa besarnya perhatian Islam terhadap HAM yang dimulai sejak Islam ada sehingga Islam tidak membeda-bedakan latar belakang agama, suku, budaya, strata sosial dan sebagainya. HAM dan Umat Islam Indonesia             Implementasi HAM di Indonesia mengikuti iklim politik yang berjalan. Politik di Indonesia bukanlah politik Islam. Namun demikian, dalam banyak hal nilai-nilai Islam masuk ke dalam semangat perundangan dan peraturan negara. Terkait dengan toleransi, kerukunan beragama, dan penolakan terhadap terorisme, umat Islam Indonesia sebagaimana diwakili oleh ormas-ormas Islam (Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, dan lain-lain) memiliki sikap yang jelas. Umat Islam Indonesia mendukung toleransi, mengutuk terorisme, mengembangkan kebajikan-kebajikan sosial, dan aktif dalam program pemberdayaan perempuan dan pengentasan kemiskinan melalui unit-unit organisasi di bawahnya.             Karena itu, melihat umat Islam Indonesia harus dipisahkan dari kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Jika ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, maka tidak otomatis oleh umat Islam. Jika ada kekerasan dilakukan oleh oknum umat Islam, tidak otomatis oleh Islam. Pemisahan ini perlu agar segala hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri.             Sikap umat Islam Indonesia terhadap prinsip-prinsip HAM sudah final dan konklusif. Perbedaannya terletak pada aspek rincian dan metode implementasi. Karena itu, kerjasama dan dialog tentang bagaimana menegakkan HAM terus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek spesifik dari masing-masing konsep ajaran agama.             Ormas-ormas Islam adalah representasi dari umat Islam Indonesia. Dalam sejarah HAM, umat Islam justru menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara (rejim politik tertentu). Tragedi G 30 S, Peristiwa Tanjung Periuk, dan lain-lainnya adalah contoh pelanggaran HAM yang meminta korban umat Islam. Dengan demikian, selama ini umat Islam Indonesia tetap konsisten membela tegaknya HAM dan bahkan sangat kritis terhadap semua bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh negara ataupun oleh oknum umat Islam.             Karena itu, menilai apakah Islam di Indonesia bagian dari penegakan HAM harus dilihat dari optik sikap resmi ormas-ormas Islamnya. Bukan oleh sikap pribadi-pribadi Muslim atau kebijakan-kebijakan pemerintah. Dari perspektif ini hubungan antara umat Islam Indonesia dengan prinsip-prinsip HAM adalah paralel dan bukan antagonistis.             Ormas-ormas Islam Indonesia justru banyak berinisiatif agar akar-akar terorisme dan akar-akar radikalisme Islam disembuhkan dahulu melalui pemberdayaan umat dan pesantren. Pendidikan yang baik dan kesejahteraan yang relatif aman dapat mengurangi umat Islam dari keterlibatan terorisme dan radikalisme.             Di sini, fakta HAM tengah mengalami anti-klimaks di Timur Tengah melalui serangan membabibuta militer Israel atas komunitas Gaza. Kini korban-korban konflik Israel-Palestina yang berjumlah lebih dari 1000 orang (termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua) menyuguhkan belum pulihnya tragedi kemanusiaan di jaman modern. Kerjasama global yang selama ini terjalin baik dalam menyelesaikan masalah HAM seperti ternoda dan kehilangan maknanya. Agama-agama harus menjadi spirit perdamaian dan spirit penegakan HAM tanpa batas sehingga menjadi topangan kuat bagi terjalinnya kehidupan manusia yang terlindungi secara HAM. Penutup             Dalam Islam, posisi manusia amat penting dan mulia. Hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia bahkan menjadi tema utama dalam keseluruhan pembicaraan al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa trikotomi hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia menempatkan hubungan yang sinergis dan harmonis. Dilihat dari kacamata HAM, trikotomi hubungan itu menunjukan bahwa alam semesta dan manusia harus saling berkerjasama untuk memenuhi sunnatullah dan memperoleh ridha Allah.             Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya yang universal adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai Syari'ah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya justru membentuk sebuah sinergitas yang harmonis. Dengan menilik potensi-potensi nilai HAM dalam Syari'ah, masa depan HAM di dalam tradisi Islam justru amat cerah dan memperoleh topangan yang amat kuat. Pertumbuhannya akan mengalami gerak naik yang amat menggembirakan. Dibutuhkan pemahaman para ulama yang makin baik tentang sumber-sumber Syari'ah dan wawasan kemodern tentang HAM. Dengan wawasan yang luas tentang ini, para ulama akan menjadi avant-guard (garda depan) bagi penegakan HAM berdasarkan Syari'ah dan nilai-nilai universal.   Wallahu A'lamu Bil Shawab.     Jakarta, 18 Januari 2009 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur'an al-Karim Al-Na'im, Abdullah Ahmed. Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1990). Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah wa Syari'ah (Cairo: Dar al-Qalam, 1966). R. Al-Sayyid, "Minal Syu'ub wal qab�?'il il�?l umma. Dir�?s�?t fî takawwun mafhum al-umma fil isl�?m" dalam Al-Umma wal-Jama'ah. Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought (Cambridge: Uninersity of Cambridge Press, 1997). Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, terbit dalam banyak edisi dan tafsir yang saya kutip mengikuti ayat dari QS 10: 99. Qaradhawi, Yusuf. Ghoirul Muslimin fil mujtama' al-Islami (Kairo: 1977). Haikal,  Husein. Sîrah Nabawiyah (Kairo: Maktabah al-‘Arabiyah, 1960). Bellah, Robert N. (ed.), Beyond Belief (New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976). [1]Mahmud Syaltuth menyebutkan keadilan merupakan bagian yang sangat penting dalam  sistem yang berorientasi kepada Tuhan. Dikatakannya, "Keadilan adalah  sistem Allah saw. dan syari'ah-Nya". Baca Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah (Cairo: Dar al-Qalam, 1966), hlm. 453.                 [2]Untuk pandangan yang komprehensif mengenai pemahaman al-Qur'an tentang masalah ini baca karya R. Al-Sayyid, "Minal Syu'ub wal qab�?'il il�?l umma. Dir�?s�?t fî takawwun mafhum al-umma fil isl�?m" dalam Al-Umma wal-Jama'ah, h. 152 dst.                 [3]Karya non-Muslim yang mengulas tentang fakta-fakta historis egalitarianisme Islam dapat dibaca dalam Louise Marlow, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought (Cambridge: Unibersity of Cambridge Press, 1997).                 [4]Jalaluddin Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, terbit dalam banyak edisi dan tafsir yang saya kutip mengikuti ayat dari QS 10: 99 di atas.                 [5]Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM, sebagaimana pandangan Maududi, bahwa ajaran HAM yang terkandung dalam Piagam Magna Charta yang lahir di Inggris tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam. Selain itu pemikiran Islam mengenai hak-hak bidang sosial, ekonomi, dan budaya telah mendahului pemikiran Barat. Sejarah Islam mengungkap bahwa sumber utama HAM terdapat di dalam Alquran dan Hadits. Sebagai perbandingan baca Yusuf Qaradhawi, Ghoirul Muslimin fil mujtama' al-Islami (Kairo: 1977).                 [6]Lihat Abdullah Ahmed an-Na'im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1990).                 [7]Husein Haikal,  Sîrah Nabawiyah (Kairo: Maktabah al-‘Arabiyah, 1960).                 [8]Pujian itu dikemukakan demikian, "...There is no question but that under Muhamad, Arabian society made a remarkable leap forward in social complexity and political capacity. When the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world  empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern. It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation expected from the rank-and-file members of the community. Selanjutnya baca Robert N. Bellah (ed.), Beyond Belief (New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976), h.  150-151.