Kisah Muallaf
Khairunnisa;Konflik itu Membawaku Masuk Islam
Dikirim tanggal 26 Feb 2015 09.14.27 1.457 Kali dibaca
Alhamdulillah, saya sangat senang sekali bisa menyapa pembaca melalui buku ini. Perkenankanlah saya memperkenalkan diri. Nama saya, Khairunnisa. Nama ini adalah nama yang diberikan kepada saya ketika saya memutuskan untuk berpindah agama dari agama keluarga kami, yakni Katolik kepada Islam. Khairunnisa terdiri dari dua kata dalam bahasa Arab, kata khair yang berarti baik dan kata annisa yang berarti perempuan. Jadi, nama saya berarti anak perempuan yang baik-baik,…hehehe…(senyumku dalam hati). Nama asli saya adalah Odete Suarez. Saya harap pembaca tidak menanyakan artinya kepada saya karena saya pun tidak mengetahui apa artinya. Berbeda dengan nama Khairunnisa yang saya jelaskan tadi. “Jangankan saya yang tidak tahu bahasa portugis, orang tua saya pun tidak mengetahui artinya.” Kata saya. Ya! Orang tua saya memang tidak mengetahui apa arti kata dalam nama saya itu. Maklumlah, mereka hanya seorang yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Mereka hanya seorang petani yang bekerja membajak sawah, tiap hari pergi pagi pulang petang, yang mereka tahu hanya kerja, kerja, dan kerja. Sudah tentu tidak mengetahui istilah-istilah yang ada dalam bahasa Portugis. Pembaca mungkin bertanya-tanya, siapa yang memberi nama saya kalau bukan orang tua saya? Baiklah, saya akan beritahu supaya pembaca tidak penasaran…J. Nama saya diberikan oleh pihak gereja. Waktu saya dilahirkan, selang beberapa hari, ayah datang ke gereja untuk menanyakan apa nama yang pantas untuk saya, lalu pihak gereja pun memberikan nama Odete Suarez. Ayah sempat diberi tahu artinya dulu, tapi ya…..karena ayah bukan seorang yang berpendidikan jadi mudah lupa. Bila ditanya lagi apa arti nama itu, ayah tidak akan bisa menjawab. Akan tetapi, itulah namanya jalan Allah, mungkin Allah berkehendak untuk memberikan yang terbaik bagi saya, sehingga kemudian saya diberikan nama yang sangat indah yang memiliki makna yang sangat baik, yaitu Khairunnisa. Saya lahir di negara Republik Timor Leste pada tahun 1992. Negeri yang terletak di sebelah Timur Indonesia. Dahulu Negara ini juga menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun karena adanya referendum pada tahun 1999, maka negara ini pun memisahkan diri dari Indonesia. Waktu itu saya masih berusia sekitar 12 tahun. Suasana politik yang memanas mengakibatkan saya dan keluarga harus mengungsi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, bersama seluruh keluarga kami. Saya anak pertama dari tujuh bersaudara. Adik pertama saya adalah seorang laki-laki yang kini sedang duduk di bangku SMA. Kini, usianya kira-kira sekitar 18 tahun, dan masih beragama Katolik. Adik saya yang ke dua juga laki-laki, namanya Lukma Hakim. Alhamdulillah, ia telah memeluk agama Islam bersama saya pada tahun 2004 di Pesantren Al-Ikhlas, Jawa Timur. Sekarang dia tinggal di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan Annaba Center Indonesia yang di pimpin oleh bapak K.H. Syamsul Arifin Nababan, tempat saya dibina hingga saat ini. Dia juga disekolahkan oleh pesantren, sekarang duduk di bangku kelas XI SMK. Adik saya yang ke tiga seorang perempuan, ia juga memeluk Islam selepas saya kembali dari Kupang, NTT dan mengajaknya ke Jawa. Orang tua saya melihat banyak perubahan pada diri saya, sehingga mereka sangat senang dan bangga. Apalagi saya sekarang sudah duduk di perguruan tinggi Islam di Jakarta, mereka pun berpesan kepada saya semoga adik-adik saya juga bisa berkuliah seperti saya. Akhirnya, tepat pada tahun 2012, saya membawa adik saya yang ketiga ke luar dari NTT. Kemudian saya menitipkannya di pesantren Al-Ikhlas, tempat saya mengucapkan kalimat syahadat dan belajar Islam awalnya. Sekarang ia sedang giat belajar Islam di sana. Adik saya yang berikutnya perempuan, sekarang masih duduk di bangku kelas VI SD, tapi masih beragama Katolik karena masih bersama orang tua saya di NTT. Sama dengan adik saya yang paling kecil yang sekarang duduk di bangku kelas IV SD, sekarang juga masih beragama Katolik. Kami memang berasal dari keluarga yang menganut agama Katolik, tapi bukan berasal dari keluarga Katolik yang taat. Ayah dan ibu hanyalah seorang petani yang ke sehariannya mengurus kebun. Kebun yang mereka urus pun tidak terlalu lebar dan itu pinjaman dari warga yang berbaik hati kepada keluarga kami untuk menggarap lahan tersebut. Aslinya, kami tidak memiliki sebidang tanah pun untuk digarap. Pembaca mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa kami menggarap tanah tersebut? Baiklah, saya akan menceritakan kronologi mengapa kami sekeluarga diberi kepercayaan untuk menggarap tanah itu. Begini ceritanya: Sewaktu konflik yang terjadi di Timor Leste kami sekeluarga terpaksa hijrah dari tanah kelahiran kami. Tanah yang seharusnya menjadi tempat kami hidup dan menjalin kebahagiaan bersama keluarga besar kami, terpaksa kami tinggalkan pasca konflik vertikal dan horizontal yang begitu dahsyat menurut saya. Tidak hanya kami sekeluarga, melainkan juga ratusan bahkan mungkin ribuan penduduk asli Timor Timur harus menerima kenyataan pahit akibat dari konflik tersebut. Kami semua terpaksa mengungsi. Tidak sedikit saudara-saudara kami yang tidak berdosa terbunuh dalam konflik yang terjadi. Kata ayah yang sempat melihat kejadian tersebut, konflik telah merenggut nyawa sebagian keluarga besar kami, sehingga tidak banyak yang tersisa dari kami. Harta, rumah, sawah dan kebun terpaksa kami tinggalkan karena tidak mungkin dibawa. Bila memilih untuk tetap tinggal di Timor, pilihannya hanya dua, yaitu menjadi bagian dari gerakan pro kemerdekaan Timor Leste atau mati di tanah kelahiran kami. Sungguh sangat kejam perilaku orang-orang yang menginginkan Timor merdeka dari Indonesia ketika itu. Saya yang masih berusia 12 tahun, hanya bisa memandang dengan penuh ketakutan, tak berani sedikitpun menatap orang-orang yang berkeliaran di sekeliling rumah kami. Akhirnya, karena ayah lebih mengutamakan keselamatan kami sekeluarga, kami pun berangkat bersama penduduk Timor yang lain untuk mengungsi di Kupang Nusa Tenggara Timur. Di pengungsian itu kami tidak memiliki aktivitas selain hanya berada di kamp pengungsian. Ayah tidak bekerja, dan ibu pun hanya mengurus kami yang masih kecil. Cuaca yang sering hujan saat itu membuat kami merasa kedinginan karena hidup di kamp pengungsian amatlah dipenuhi dengan keterbatasan. Singkat cerita, ada seorang warga yang berbaik hati kepada kami. Ayah diizinkan untuk menggarap kebun di dekat pengungsian. Cukup luas, sekitar satu hektar. Ayah menggarap lahan tersebut bersama ibu. Itulah yang mereka lakukan sembari tinggal di kamp pengungsian. Setelah memiliki cukup uang, ayah meminta izin kepada pemilik tanah untuk mendirikan rumah gubuk di area kebun. Alhamdulillah, atas kebaikan sang pemilik tanah, kami pun kemudian dapat tinggal di rumah yang terbuat dari dinding bambu dan beratapkan rumbia. Ini sudah lebih dari cukup bagi kami, memiliki tempat tinggal dan tidak lagi berada di kamp pengungsian. Begitulah singkat cerita mengapa kami bisa menggarap tanah di NTT. Para pembaca, apabila anda berasal dari perkotaan dan tinggal di rumah-rumah mewah, mungkin anda merindukan suasana pedesaan yang sangat alami dan tenang. Tapi, perasaan rindu tersebut tentunya hanya datang sesekali saja, tidak seterusnya. Bagaimana bila anda tinggal di gubuk seperti kami setiap saat, mungkin tak akan ada lagi perasaan ingin berlibur ke desa. Suara kodok, jangkrik, gigitan nyamuk, dan serangga-serangga lainnya sudah menjadi sesuatu yang terbiasa bagi kami. Meskipun demikian, kami sangat bersyukur karena bisa tinggal di tempat tersebut. Ini adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada kami. Ayah dan ibu setiap harinya bertani, dari pagi sampai petang mereka selalu bekerja hingga tidak ada waktu untuk beribadah. Ke gereja yang seminggu sekali pun tidak, yang kami sekeluarga lakukan itu hanya mengikuti kegiatan ibadah pada saat-saat tertentu, seperti natal atau paskah saja setahun sekali. Pembaca mungkin bisa memaklumi karena orang tua kami bukanlah orang yang berpendidikan. Yang mereka tahu hanya kerja, kerja, dan kerja. Hasil yang diperoleh pun hanya cukup buat makan, sehingga bila mereka meniggalkan pekerjaannya sebagai petani, sudah dapat dipastikan kami akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi keluarga yang serba kekurangan itulah menyebabkan saya harus pergi merantau untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Kala itu, ada seorang yang bernama bapak Zainuddin yang datang ke NTT, tepatnya datang di dekat kami tinggal. Beliau memberitahukan kepada anak-anak dan orang tua bahwa ada sekolah gratis di Jawa. Sekolah tersebut adalah sekolah Islam, namun tidak membebankan biaya kepada santrinya. Oleh sebab itu, bagi yang berminat bisa berangkat dengan beliau ketika itu. Saya yang masih sangat kecil tentu senang sekali mendengarnya. Kabar ini memang saya tunggu-tunggu karena di kampung sekolah sangat jauh sekali dan kalau hendak berangkat ke sana butuh transportasi dan biaya yang cukup besar bagi saya. Kondisi keluarga yang serba pas-pasan, tidak memungkinkan saya untuk bersekolah ketika itu. Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk bilang kepada ayah. “Ayah, tadi ada berita dari teman-teman, katanya ada sekolah gratis di Jawa. Saya boleh ikut ke sana yah?”, pinta saya kepada ayah. Awalnya ayah sangat khawatir, apalagi saya adalah seorang anak perempuan dan berusia sangat kecil yaitu 12 tahun, tentunya ini akan membahayakan diri saya bila saya pergi. “Gak usahlah nak, bahaya. Kamu kan masih kecil, nanti siapa yang mengurusmu di sana?”, jawab ayah melarang saya pergi. Peringatan ayah tidak lantas memutuskan semangat saya untuk pergi. Saya pun kemudian membujuk ibu; “Bu, saya mau belajar bersama teman-teman ke Jawa, boleh ya bu?”, kata saya merayu. Ibu pun menjawab; “Sudahlah nak, ikuti saja kata ayahmu. Kamukan masih terlalu kecil untuk merantau. Bagaimana kamu di sana nanti, apa bisa kamu mengurus dirimu sendiri?”, tanya ibu. Saya pun kemudian menjawab pertanyaan ibu tersebut; “Ibu, saya yakin nanti akan bisa mandiri di sana. Di sana juga sudah ada kakak-kakak yang berasal dari Timor, tentu mereka akan membantu kami nanti.”, ucap saya untuk meyakinkan ibu. Saya dan teman-teman memang bukan santri pertama dari Timor yang akan bersekolah di sana. Sebelumnya sudah ada kakak-kakak kami yang juga berasal dari Timor dan bersekolah di sana. Jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya belasan. Akan tetapi, kabarnya mereka cukup baik dan kompak. Oleh sebab itu, saya bersih keras untuk berangkat ke Jawa. “Biarlah saya mencuci dan mengurus diri saya sendiri, yang penting saya bisa bersekolah.”, pikir saya dalam hati. Setelah membujuk sampai berhari-hari, bahkan saya juga mengancam dengan tidak mau makan, akhirnya ayah dan ibu mengizinkan saya untuk pergi merantau. Mereka mungkin berpikir seperti pepatah jawa mangan ora mangan asal ngumpul artinya biar senang maupun susah yang penting bisa berkumpul bersama keluarga. Jadi, tak mengapa kalau saya tidak sekolah yang penting bisa berkumpul semuanya. Mungkin itulah yang mereka pikirkan. Akan tetapi, saya tidak mau seperti itu. Saya memiliki masa depan dan cita-cita, sehingga harus terus belajar dan bekerja keras agar dapat membahagiakan orang tua. Maka, saya harus merantau. Kondisi ekonomi keluarga kami dulu memang tidak sebaik sekarang. Sekarang ayah dan ibu bisa menyekolahkan adik-adik, berbeda dengan ketika saya masih bersama mereka dulu. Ekonomi keluarga sangat sulit, bisa makan dan tidur saja sudah sangat bersyukur. Tidak memikirkan hal yang tinggi-tinggi, beli sepeda agar saya bisa bermain bersama teman-teman pun cuma impian belaka ketika itu. Apa yang kami rasakan begitu sulit apalagi baru saja hijrah dari tanah kelahiran yang memberikan banyak rasa suka duka bagi kami. Keinginan untuk berangkat merantau ke Jawa sudah bulat. Saya pun bertekad dan terus saja meminta kepada orang tua agar diizinkan. Akhirnya, alhamdulillah, setelah menanti sekitar satu minggu keputusan itu pun tiba. Saya diizinkan oleh kedua orang tua untuk berangkat ke Jawa. Bersama teman-teman, saya datang ke kediaman keluarga pak Zainuddin di NTT. Beliau kemudian menyambut kehadiran kami yang diantar oleh keluarga. Perbincangan pun dimulai antara keluarga kami dengan bapak Zainuddin. Tentunya sebagai orang tua keluarga saya dan keluarga teman-teman sangat khawatir, hingga menanyakan banyak hal kepada beliau. “Pak Zainuddin, nanti anak-anak kami bagaimana di sana? Mereka kan masih kecil-kecil, mencuci pakaian saja belum bisa, siapa yang akan merawat dan menjaga mereka?”, kata salah seorang ayah teman saya. Pak Zainuddin pun kemudian menjawab pertanyaan orang tua teman saya tersebut dengan penuh keyakinan, pak Zianuddin memberikan penjelasan; “Begini pak, anak-anak bapak memang masih kecil-kecil, namun mereka tentunya tidak kami biarkan saja di sana nanti. Mereka akan dididik dan diberikan perhatian oleh pengurus sekolah dan kakak-kakak mereka yang lebih dahulu berada di sana. Jadi, bapak dan ibu jangan risau dan khawatir mereka akan diperhatikan nanti.”, ucap pak Zainuddin. Mendengar penjelasan yang disampaikan oleh bapak Zainuddin para orang tua merasa yakin anak-anak mereka akan baik-baik saja. Mereka pun merasa tenang untuk mengizinkan kami berangkat ke Jawa. Tepat pada malam hari setelah kami sekeluarga berkumpul, kami semua pun sudah berada di rumah pak Zainuddin agar besok harinya bisa berangkat bersama dengan mengendarai kapal laut. Keesokan harinya, datang kembali para keluarga kami untuk melepas kepergian kami yang hendak merantau menuntut ilmu di Jawa. Suara isak tangis pun tidak dapat dihidari. Tetesan air mata para orang tua membasahi pipi mereka seolah tidak rela anaknya pergi meninggalkan mereka meski hanya untuk beberapa tahun demi masa depan sang anak. “Ya….begitulah, namanya juga orang tua, semarah dan sebenci apa pun mereka terhadap anak, mereka adalah orang tua yang sewaktu kecil sangat menyayangi anak-anaknya, bahkan sesungguhnya sampai mereka dewasa.”, pikirku dalam hati. Pak Zainuddin membawa kami semua yang masih berusia anak-anak untuk dididik di pesantren Al-Ikhlas. Saya pun berangkat bersama dua belas orang teman yang lain menuju pulau Jawa. Lambaian tangan melepas kepergian kami; “Selamat tinggal ayah, emak, adik-adikku. Pasti suatu saat aku akan kembali setelah menyelesaikan studiku di Jawa.”, teriakku kepada mereka. Sedih bercampur haru, perasaan yang saya rasakan saat itu. Namun, tekad yang kuat tidak lagi menjadi penghalang bagi diri saya untuk berbuat menuntut ilmu. Sambil mengusap air mata yang tak sadar telah menetes dan membasahi pipi ini, saya kemudian menatap tajam ke depan dengan penuh semangat sambil mengepalkan tangan. “Aku yakin aku bisa.”, tekad saya. Singkat cerita, kami melakukan perjalanan darat dan laut untuk sampai ke yayasan yang akan mendidik kami menjadi manusia yang berguna. Butuh waktu sekitar enam hari perjalanan laut untuk sampai di tempat tersebut. Lelah memang, namun saya dan teman-teman tetap semangat menempuh perjalanan karena kami pada umumnya belum pernah naik kapal laut, apalagi bepergian jauh. Rasa lelah yang ada pada diri kami terkalahkan dengan semangat yang muncul. Satu dua orang teman mabuk laut, namun mereka tetap berusaha untuk kuat. Ini adalah konsekuensi keputusan kami karena memilih untuk menuntut ilmu di rantau orang. Hari demi hari kami lalui, tak terasa tiga hari tiga malam sudah berlalu. Akhirnya, kami pun sampai pada tempat yang dijanjikan oleh Bapak Zainuddin. Tempat itu ternyata sebuah pondok pesantren Al-Ikhlas, tempat dimana kebanyakan anak-anak yang berasal dari pengungsian Timor Leste mondok dan di pesantren tersebut. Saya lihat di sana sudah ada beberapa orang yang warna kulitnya sama dengan kami. Salah seorang di antaranya bernama Muhammad Orlando, dulu namanya Arnaldo Pinto, namun ketika memilih untuk memeluk Islam ia mengganti namanya menjadi Muhammad Orlando. Kak Orland, panggilan akrab kak Muhammad Orlando, yang membantu kami, khususnya saya ketika berada di pondok pesantren. Kak Orland adalah orang yang sangat baik. Tidak membedakan siapa yang harus dia tolong, saya merasa memiliki seseorang yang benar-benar bisa membimbing kami untuk belajar. Apalagi ketika kami tiba di pesantren, kami merasa terkejut karena semua santri baik laki-laki maupun perempuan mengenakan penutup kepala. Santri laki-laki menutup kepala mereka dengan menggunakan kopiyah sedangkan perempuan mengenakan kerudung atau jilbab. Saya pun kemudian berpikir; “Kok seperti ini ya di sekolah ini?” Pikiran ini terus menjadi pertanyaan dalam benak saya. Terlebih, saat baru saja kami sampai sudah disambut dengan penjelasan seorang ustadz yang menyebutkan peraturan pondok pesantren, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi di pesantren. “Wah, ini kok gini ya? Ngeri kali di sini aturannya..”, ucap salah seorang teman saya yang tiba bersama dengan saya. Kekagetan ini pun tidak serta merta membuat kami takut dan kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Kami hanya saling memandang satu dengan yang lain, karena ini adalah hal pertama bagi kami. Kami merasa seperti orang bodoh yang saling memandang karena tidak tahu apa sebenarnya yang ustadz tersebut jelaskan tentang membaca Al-Quran, belajar Hadis, Bahasa Arab dan lainnya. Karena dalam keadaan bingung kami pun hanya bisa diam, dan menganggukkan kepala saja ketika ditanya sudah tahu? Namun, ada juga seorang teman yang menggerutu di belakang karena menganggap peraturan yang diterapkan sangat menyulitkannya. Shock! Adalah keadaan yang pertama kali terjadi dalam diri kami. Padahal, kami baru saja menginjakkan kaki di sekolah yang disebut sebagai pesantren itu, tapi peraturannya sudah segudang. Harus ini, itu, tidak boleh ini, tidak boleh itu, saya merasa ribet juga tinggal di yayasan seperti ini, “tapi ya sudahlah.”, ucap saya dalam hati mencoba untuk sabar. Tak lama setelah kami mendengarkan pengarahan yang disampaikan oleh salah seorang ustadz yang memberikan pengarahan itu, kami pun dipersilahkan untuk masuk ke kamar. Ternyata, dalam satu kamar dihuni oleh lima belas sampai dua puluh orang santri. “Kalau bahasa orang pasaran, kayak susun ikan gembung.”, kata saya. Ini semakin membuat kami terheran-heran, tapi mau bilang apa lagi, ini kenyataan yang harus kami hadapi. Kondisi ruangan yang disebut sebagai kamar itu bentuknya hanya polos, belum terlihat benda-benda apa pun selain tikar, dua buah lemari, dan jendela yang berfungsi sebagai sanitasinya. Kami baru tahu, ternyata sekolah yang kami datangi dan belajar di sana waktu itu masih baru dibuka, sehingga membutuhkan murid yang cukup banyak. Memang, sebelum kami datang sudah ada beberapa orang yang tinggal dan belajar di situ, namun mereka tidak terlalu banyak. Akhirnya, kami pun masuk dalam ruangan yang mereka sebut sebagai kamar. Mulailah kami semua yang baru datang bersama bapak Zainuddin meletakkan pakaian dan barang-barang yang kami bawa dari NTT. Karena hari sudah berangsur-angsur malam kami pun beristirahat. Ya! Pembaca mungkin sudah tahu bahwa kami beristirahat dan tidur di atas tikar dan tanpa kasur empuk seperti anak-anak yang bersekolah boarding di kota. Kami harus mencuci baju sendiri, membersihkan peralatan kami sendiri, masak sendiri, semuanya serba dilakukan sendiri, seperti lagu yang dibawakan oleh Cacha Handika yang berjudul angka satu. Liriknya begini; Masak, masak sendiri. Makan, makan sendiri. Cuci baju sendiri. Tidur pun sendiri…… Hehehe……beda lirik ini dengan kenyataan yang saya alami. Kalau dalam lirik tersebut berbunyi “tidur pun sendiri”, yang saya alami adalah tidur beramai-ramai. J Kami saat itu benar-benar merasakan digembleng, sehingga kami yang dahulunya merasakan hidup yang serba diurus oleh orang tua, saat itu berubah drastis dengan melakukan segalanya sendiri. Ini menjadi sebuah hal yang sangat berbeda yang kami alami ketika itu. Dulu waktu kami masih tinggal bersama orang tua, semua masih diperhatikan oleh orang tua. Makan, minum, pakaian, semuanya diperhatikan. Namun, ketika kami berada di pesantren kami harus mengurus diri kami sendiri tanpa perhatian dari orang tua. Apalagi orang tua-orang tua kami berada jauh di NTT. Ketika masih tinggal bersama orang tua bisa bangun sedikit lebih siang. Biasanya kalau di rumah saya bangun pukul 06.00 bahkan terkadang sampai pukul 07.00 WIT, tapi setelah saya tinggal di pesantren jam bangun tidur saya berubah drastis. Saya harus bangun mulai pukul 03.30 pagi, mulai dari persiapan salat subuh berjamaah, salat, kemudian menghafal pelajaran dan lainnya, ini semua membuat beberapa orang dari kami merasa tertekan di sana. Suara nyamuk yang berdenging, jangkrik, dan kodok di kala hujan perlahan sudah menjadi sebuah hal yang biasa bagi kami. Awalnya memang tidak terima atas perlakuan yang diberikan oleh pihak yayasan kepada kami bahkan salah seorang teman saya mengajak saya untuk kabur dari pesantren sehari setelah kami tiba. “Odet, ayuk kita kabur saja. Nggak betah aku kayak gini, kabur yuk?”, katanya kepada saya. Saya pun menjawab ajakan teman saya itu; “Nggak ah, aku mau belajar di sini. Kemarin sebelum berangkat aku sudah berjanji kepada orang tua, aku akan baik-baik saja di sini. Jadi, aku harus bertanggung jawab atas janjiku.”, ucapku kepada salah seorang teman yang ingin kabur dari pesantren. Memang sulit menerima kenyataan ini. Pembaca bisa membayangkan, seorang anak yang usianya masih kecil sudah pergi merantau dan jauh dari rumah. Tidak ada kasih sayang keluarga, bahkan sekedar eskrim pemberian mereka pun tak pernah kami dapatkan lagi. Waktu itu komunikasi tidak secanggih sekarang. Jarang sekali kami berkomunikasi dengan keluarga. Apalagi keluarga kami berada di perkampungan dan jauh dari pusat kota. Di pusat kota saja pun sinyal handphone masih sulit ditemukan, bagaimana lagi di kampung tempat kami tinggal, sulit sekali. Oleh sebab itu, kami hanya bisa mengirim kabar kepada keluarga melalui pak Zainuddin yang membawa kami ke Jawa. Setiap kali beliau kembali ke NTT, beliau selalu menceritakan keadaan kami kepada keluarga. Singkat cerita, sudah beberapa hari kami lalui di pesantren Al-Ikhlas. Kami pun perlahan mulai merasa nyaman di pesantren. Mungkin karena kami tidak merasakan beban kesulitan sendirian, sehingga tidak terlalu terbebani dengan keadaan yang menimpa kami waktu itu. Kami yang awalnya merasa berat menjalankan peraturan yang disebutkan oleh seorang ustadz ketika kami baru datang, kini sudah semakin menyadari bahwa peraturan yang diterapkan di pesantren sebenarnya bertujuan untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang lebih baik. Menjadikan kami lebih disiplin, berakhlak yang baik dan memiliki berilmu pengetahuan. Meski sudah beberapa hari tinggal di pesantren, kami belum disyahadatkan ketika itu. Ini karena kami sengaja diuji oleh para ustadz demi untuk mengetahui sejauh mana ketekunan dan kebulatan tekad kami untuk belajar di pesantren tersebut. Baru setelah empat belas hari, kami semua disyahadatkan di depan para santri dan dihadapan para dewan guru yang ada di pesantren Al-Ikhlas, termasuk Bapak Zainuddin. Sejak itulah kami semua mempelajari Islam secara lebih detail setelah sebelumnya ketika kami datang kami hanya belajar mengenai aqidah semata, yaitu tentang pengenalan terhadap Allah, makna kalimat tauhid, Allah itu siapa dan bagaimana, kenapa kita harus menyembah kepada Allah, itu semua diajarkan pada waktu tiga belas hari oleh ustadz di pesantren. Usia kami yang masih relatif kecil ketika itu, tentunya tidak terlalu mempersoalkan agama karena memang kami juga bukan berlatar belakang dari keluarga yang taat. Oleh sebab itu, kami semua mendengarkan apa yang ustadz ajarkan kepada kami, tanpa memberikan pertanyaan yang berarti. Mulai dari situlah keyakinan kami terhadap Islam semakin menguat dan alhamdulilah kami mulai melaksanakan ibadah-ibadah wajib dalam Islam, seperti salat dan puasa. Semenjak memeluk agama Islam itulah nama saya diganti menjadi Khairunnisa, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di atas. Pasca satu bulan masuk Islam, bapak Zainuddin pun memberikan kabar kepada orang tua saya ketika beliau berangkat ke NTT. Beliau menjelaskan kepada mereka tentang kondisi yang saya alami, Alhamdulillah kedua orang tua saya menerima perpindahan agama saya dari Katolik ke Islam. Mereka berdua berpesan kepada saya melalui pak Zainuddin; “Pak Zainuddin, kalau memang itu yang terbaik buat anak saya, kami ikhlas. Kami sadar dan tahu kemampuan kami. Kami belum bisa memberikan pendidikan yang layak buat Odet. Biarlah di jadi Islam, yang penting dia tidak lupa sama keluarganya.”, ucap ibu sambil meneteskan air mata tutur pak Zainuddin kepada saya. Mendengar perkataan bapak Zainuddin itu, saya pun menangis. Tak mampu lagi rasanya saya menahan air mata yang hedak jatuh ini. Lalu, pak Zainuddin berkata; “Sudahlah nak, kamu dan teman-temanmu kan juga anak sekarang. Kamu gak usah sedih, nanti kalau sudah waktunya, kamu bisa kembali ke orang tuamu.”, ucap beliau kepada saya. Kedua orang tua saya memang sangat sibuk mencari nafkah. Pembaca mungkin bisa memaklumi, karena kedua orang tua saya adalah seorang petani, maka penghasilan mereka sangat bergantung kepada kondisi alam. Syukur-syukur hasilnya bisa lebih dari cukup, sehingga bisa memberikan kami baju baru, terkadang hasilnya malah tidak sesuai harapan karena sawah dan ladang yang mereka garap terserang hama atau juga terkena banjir. Oleh sebab itu, ketika mendengar kabar bahwa saya telah memilih Islam sebagai agama saya, mereka berdua tidak lantas marah karena mereka menyadari bahwa keduanya tidak memiliki cukup waktu untuk memberikan perhatian yang labih kepada anak-anaknya. Apalagi mereka menganggap bahwa fasilitas yang ada di NTT tidak sebaik yang ada di Jawa, sehingga sekolah di Jawa pasti lebih baik dari pada di NTT, dan pemikiran mereka tentang anak amatlah benar, saya adalah anak mereka, maka tidak akan mungkin terputus hubungan antara anak dengan orang tuanya. Ini yang menjadikan mereka berpikir biarpun saya belajar di Jawa, nanti ketika sudah besar dan selesai, tentunya saya akan kembali kepada mereka juga. Begitulah harapan mereka kepada saya. Waktu berganti waktu, tidak terasa sudah enam bulan saya berada di pesantren Al-Ikhlas. Harapan awalnya saya akan menyelesaikan sekolah di pesantren ini bersama dengan tiga belas teman saya yang lain, namun alangkah malangnya kami, dari empat belas yang datang menuntut ilmu di pesantren, waktu itu haya tinggal enam orang yang bertahan. Delapan orang teman yang serombongan dengan saya akhirnya murtad dan kembali ke NTT. Perasaan mereka yang tidak betah hidup dan tinggal dipesantren membuat keluarga mereka datang dan menjemput mereka untuk dibawa pulang ke daerah asalnya. Beberapa orang diantara kami, khususnya yang dijemput untuk kembali pulang bersama keluarganya merasa belum siap dengan kondisi yang mereka alami di pesantren. Sepintas saya bingung; “Kok keluarga mereka yang di kampung halaman itu tahu keadaan mereka? Sementara teman-teman saya yang ada di sini tidak memiliki hp, bagaimana keluarga mereka bisa tahu?”, ucap saya dalam hati. Ternyata, berita yang sampai kepada keluarga teman-teman saya di kampung, teman-teman saya di pesantren dipaksa untuk beribadah dan berbuat mengurus serta menjaga kebersihan pesantren, padahal sebaliknya, mereka tidak dipaksa, apa yang mereka lakukan adalah hal yang seharusnya dilakukan di pesantren. Ibadah merupakan kewajiban setiap individu yang telah berikrar untuk memeluk Islam. Mencuci pakaian sendiri, membuat sarapan dan masak nasi untuk teman-teman, itu hanya aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan ini adalah baik menurut saya. Namun, saya tidak tahu siapa yang memprovokasi para orang tua, sehingga mereka datang jauh-jauh dari NTT untuk menjemput anak-anak mereka. Ini adalah hal yang sangat meperihatinkan bagi saya pribadi. Orang tua saya pun sempat terhasut dan kemudian saling bersih tegang antara ibu dengan ayah. Sebagai seorang ibu tentu ia sangat khawatir dengan keadaan saya, apalagi saya masih kecil ketika pergi merantau ke Jawa. Akan tetapi, ayah lebih bisa bersikap tenang menghadapi hasutan yang disampaikan oleh orang-orang kampung, ia berkata kepada ibu saya; “Sudahlah, kau tak usah terlalu khawatir. Anak kita akan baik-baik saja di sana.”, ucap ayah kepada ibu. Ayah bersikap lebih tenang karena saya sempat menjelaskan kepada kedua orang tua melalui sebuah surat yang saya titip kepada pak Zainuddin. Dalam surat tersebut saya menceritakan berbagai hal yang saya lakukan di pesantren, sehingga mereka bisa mengerti. Di akhir surat yang saya kirim pun saya menulis bahwa saya merasa betah tinggal di pesantren. Oleh sebab itu, saya meminta ayah dan ibu untuk tidak mengkhawatirkan keadaan saya di pesantren. Penjelasan yang saya sampaikan kepada orang tua itu memberikan pemahaman kepada mereka, sehingga mereka tidak langsung terprovokasi seperti para orang tua lainnya. Berbeda dengan orang tua teman-teman saya, emosi mereka langsung terpancing dan beberapa hari kemudian, para orang tua yang datang untuk menjemput teman-teman dengan wajah yang sangat tegang. Mereka marah-marah kepada para pengurus pesantren, pak Zainuddin dan juga pak Kiai yang pada waktu itu ada untuk menjelaskan kepada mereka tentang duduk persoalannya. Para orang tua tidak mau lagi menghiraukan apa yang dikatakan oleh pak Zainuddin, mereka menganggap bapak Zainuddin adalah seorang pendusta yang tidak dapat dipercaya segala ucapannya. “Apa ini? Anak kami diperlakukan seperti pembantu di sini! Katanya sekolah Islam, tapi kok anak kami gak diurus di sini.”, ucap seorang ibu yang dengan keras mengatakan hal itu kepada seluruh pengurus pesantren. Pak Kiai sebagai pemimpin di pondok pesantren mencoba untuk menjelaskan; “Bapak-ibu, sebenarnya ini hanya sebuah kesalahpahaman saja. Anak-anak bapak dan ibu tidak diperlakukan seperti pembantu di sini. Justru mereka sudah kami anggap seperti anak kandung kami sendiri. Mereka diberi makan, minum, pakaian, pendidikan, dan tempat tinggal, tidak ada yang menjadikan mereka seperti pembantu. Memang di pesantren kita ini semua santri mengerjakan sendiri apa berbagai hal yang menyangkut pribadi mereka, mencuci pakaian, setrika, dan mencuci piring, namun itu kami lakukan untuk meningkatkan kemandirian mereka supaya mereka kelak jadi anak yang mandiri, tidak memperbudak mereka. Ibadah yang mereka lakukan adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Salat lima kali sehari semalam itu diwajibkan tidak hanya untuk anak-anak bapak/ibu, tetapi seluruh umat Muslim termasuk saya pribadi. Jadi, bapak ibu jangan lagi salah paham, ini semua kami lakukan demi kebaikan anak-anak kita.”, ucap pak Kiai mencoba menenangkan. Apa yang dikatakan oleh pak Kiai ternyata tidak disambut baik oleh keluarga teman-teman saya. Bahkan tanpa segan mereka membantah ucapa Kiai; “Apa ini? Kami lihat dengan mata kepala kami sendiri. Anak-anak kami diperlakukan tidak layak di sini. Kami tidak mau lagi mendengar penjelasan anda, malam ini juga kami akan membawa anak-anak kami pulang!”, kata seorang bapak kepada pak Kiai. Pak Kiai pun tak mampu lagi menghalangi apa yang mereka inginkan. “Baik bapak/ibu, kalau memang bapak/ibu ingin membawa anak-anak bapak/ibu kami persilahkan, kami tidak mampu untuk menghalanginya.”, ucap pak Kiai. Setelah melalui perdebatan yang cukup menekan perasaan itu, akhirnya delapan orang teman yang pergi bersama saya merantau ke Jawa untuk menuntut ilmu itu pun kembali ke Timor Leste. Sebagai seorang perempuan, tentunya saya merasakan kesedihan yang begitu dalam. Pembaca bisa membayangkan bagaimana ketika ditinggalkan para sahabat yang mengalami suka duku bersama dengan pembaca. Perjalanan hijrah yang memakan waktu satu minggu itu seperti tidak memiliki makna sama sekali. Padahal, saya memimpikan bisa selesai dan lulus di pesantren Al-Ikhlas ini bersama teman-teman, namun impian itu tinggallah mimpi. Kini kami hanya tinggal berenam. Enam orang inilah yang nantinya bertahan sampai kami lulus dari pesantren, termasuk saya. Ketika mereka semua kembali ke kampung halaman, persoalan justru terjadi pada keluarga saya. Para orang tua yang datang ke pesantren datang ke rumah kami dan menceritakan keburukan pesantren. Mereka berkata kepada orang tua saya; “Si Odet di sana tak terurus. Udahlah kalian bawa pulang saja dia, kasihan anak kalian diperlakukan seperti itu. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, dia dijadikan pembantu di sana.”, ucap salah seorang ibu teman saya. Mendengar apa yang dikatakan oleh seorang ibu tersebut, ibu saya langsung panik dan berkata kepada ayah; “Pak, Odet gimana pak? Odet?”, kata ibu sambil menangis. Ayah masih dengan sikap kedewasaannya. Ia tetap tenang menghadapi hasutan yang diucapkan oleh salah seorang ibu tersebut. Sampai satu bulan kemudian pak Zainuddin datang dan memberikan surat saya kepada mereka. Waktu itu surat yang saya tulis isinya begini: Assalamu’alaikum ayah dan ibu….semoga ayah dan ibu selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah Swt., amin. Ayah, ibu, mungkin ada kabar yang membuat ayah dan ibu khawatir akan keadaanku di sini. Apalagi setelah mengetahui beberapa teman kami telah kembali pulang ke kampung, tentu ayah dan ibu bertanya-tanya mengapa mereka kembali pulang dan memilih untuk tidak menyelesaikan sekolah? Mungkin ayah dan ibu juga telah mendengar hal-hal buruk terjadi kepada kami, sehingga para orang tua mereka datang menjemput. Ayah, ibu, sebenarnya kami dalam keadaan sehat dan baik-baik saja di sini. Kami melakukan apa yang seharusnya kami lakukan. Sekolah, belajar, bermain, dan mengaji, ini yang kami lakukan setiap hari. Tidak dipaksa-paksa, apalagi dijadikan pembantu seperti yang orang-orang ceritakan. Kami hanya dilatih untuk bersikap mandiri dengan mengurus segala sesuatunya sendiri, jadi bukan dijadikan pembantu. Ayah dan ibu tidak perlu cemas, di sini aku dalam keadaan baik-baik saja. Sekarang aku sudah sedikit bisa mengaji dan menghafal kitab, mudah-mudahan aku bisa lebih baik lagi, amin. Ayah, ibu,…….. Aku rindu kalian. Rindu ayah, rindu ibu, rindu adik, rindu suasana kampung. Sebenarnya, aku ingin sekali pulang, tapi perjalananku masih panjang di sini. Aku masih harus menyelesaikan sekolahku, masih banyak ilmu yang harus aku dapatkan di sini. Aku berharap aku bisa kuat dan teguh dalam menuntut ilmu ini. Aku janji, akan pulang ke rumah setelah aku lulus sekolah. Doakan aku ya…. Yah, bu….. Salam sayang dan rindu dari anakmu Khairunnisa (Odet) Al-Ikhlas, 15 Maret 2004 Surat inilah yang saya kirim kepada orang tua untuk memberikan pemahaman kepada mereka dan menjelaskan kondisi yang sebenarnya saya alami di pesantren. Ini mungkin dapat menenangkan mereka karena setelah membaca surat ini, menurut pak Zainuddin mereka kelihatan lega dan tidak lagi berpikir hal-hal buruk terjadi pada diri saya. Sejak surat yang kedua ini diterima oleh ayah dan ibu, mereka berdua tidak lagi menghiraukan hasutan yang disampaikan oleh warga sekitar mengenai keadaan saya di pesantren. Saya pun bersyukur kepada Allah karena telah memberikan orang tua saya pemahaman tentang keadaan saya di Jawa. (bersambung)